Laman

Jumat, 04 Juli 2014

Partisipasi pemilih dalam pemilu 2014

A. Pendahuluan

Pemilu Legislatif 2014 akan dilaksanakan dalam kurun waktu 30 hari lagi, yakni pada 9 April 2014. Pemilu legislatif ini akan memilih kurang lebih 19.700 (Sembilan belas ribu tujuh ratus) kandidat caleg yang tersebar di 2.450 (dua ribu empat ratus lima puluh) daerah pemilihan. Oleh karena itu, pemilu di Indonesia dikenal sebagai salah satu pemilu terbesar di dunia yang juga melibatkan hampir 20.000 (dua puluh ribu) calon anggota legislatif (caleg), juga lebih dari 186 (seratus delapan puluh enam) juta pemiilh.
Kondisi ini tentu menjadikan pelaksanaan pemilu tak terbayangkan rumitnya. KPU sebagai penyelenggara pemilu akan menghadapi tantangan luar biasa untuk mengorganisir penyelenggaraannya. Tantangan terbesarnya adalah mendorong partisipasi masyarakat dalam penggunaan hak pilih pada 9 April 2014 nanti. Berkaca dari pengalaman pemilu di Indonesia sejak Pemilu 1999 hingga 2009, terjadi penurunan partisipasi pemilih cukup signifikan. Tingkat partisipasi terus menurun dari 92 persen (%) pada Pemilu 1999 menjadi 84 persen (%) di 2004, dan terus menurun saat penyelenggaraan Pemilu 2009, yakni tinggal 71 persen (%). Secara konsisten rata-rata penurunan dari tiga periode pemilu tersebut sebesar kurang lebih 10 persen (%). Jika trend ini diikuti maka sangat mungkin Pemilu 2014 tingkat partisipasinya tinggal 60 persen (%). Selain menurunnya angka partisipasi pada 3 periode pemilu, jumlah suara tidak sah juga terus mengalami kenaikan dari 3.3 persen (%) pada Pemilu 1999 menjadi 9.7 persen (%) pada Pemilu 2004, dan melonjak pada angka 14.4 persen (%) di Pemilu 2009.
Meskipun kecenderungannya menurun, namun KPU memiliki target tinggi dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat dalam Pemilu 2014, hingga 75 persen (%). Target ini merupakan bagian dari sikap serta komitmen penyelenggara pemilu untuk menguatkan legitimasi penyelenggaraan pemilu, meskipun hal itu dirasa cukup berat. Mengingat hal itu, maka pertanyaannya adalah apa yang harus dilakukan untuk mendorong tingkat partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemilu 2014?
Berdasarkan pertanyaan itu maka ada beberapa hal yang harus dijawab yakni pertama, apa yang menyebabkan rendahnya tingkat partisipasi pemilih dalam setiap penyelenggaraan pemilu? kedua, bagaimana mekanisme dan metode pendidikan pemilih yang dilakukan oleh KPU? Ketiga, bagaimana menjawab peluang penggunaan teknologi informasi dan media sosial dalam mendorong tingkat partisipasi pemilih. Harapannya berdasarkan pertanyaan ini muncul rekomendasi untuk peningkatan partisipasi pemilih dalam Pemilu 2014.
Menjawab persoalan tersebut, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyelenggarakan Workshop Knowledge Sharing “Mendorong Partisipasi Pemilih dalam Pemilu 2014” bekerjasama dengan Australian Electoral Commission (AEC) dengan mengundang KPU India, KPU Australia dan stake holder dalam negeri seperti KPU (propinsi/kabupaten/kota), akademisi, media, pemantau pemilu, dan
aktivis media sosial. Kegiatan yang berlangsung sejak tanggal 19 hingga 20 Februari 2014 ini dilakukan untuk saling berbagi ilmu dan pengalaman dimasing-masing negara dan lintas bidang dalam mendorong partisipasi masyarakat. Melalui kegiatan ini, Indonesia bisa belajar dari India dan Australia, begitu juga sebaliknya akan ditemukan sejumlah hal menarik yang akan menjadi informasi baik untuk kedua negara.

B. Problem Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu

Reformasi telah membawa perubahan terhadap penyelenggaraan pemilu, dimana pemilu dipahami sebagai arena persaingan terbuka antarpeserta pemilu untuk memobilisasi dukungan suara pemilih. Akibatnya terjadi interaksi yang relatif intens antara warga/pemilih dengan peserta pemilu, pemerintah, penyelenggara, lembaga pengawas pemilu, dan juga pemantau. Dalam interaksi ini, pemilih berada pada posisi yang sejajar/setara dengan elemen lainnya, jika tidak harus mengatakan pada posisi diuntungkan. Peserta pemilu membutuhkan dukungan pemilih, begitu juga dengan penyelenggara pemilu yang berusaha meningkatkan keterlibatan pemilih dalam pemilu.
Ditengah-tengah kepentingan yang begitu besar, kepentingan pemilih justru tertinggal dan hampir terlupakan. Pemilih hanya diposisikan sebagai objek dalam pertarungan politik antar peserta pemilu baik partai politik maupun kandidat. Begitu juga dengan kepentingan pemilih untuk memberikan hak suara berdasarkan informasi yang memadai, akses terbuka terhadap rekam jejak peserta pemilu, akses terbuka terhadap informasi kepemiluan, bebas dari intimidasi dan mobilisasi yang sesungguhnya belum terkelola secara memadai, intensif, dan berkualitas. Kondisi inilah yang menurut Sri Budi Eko Wardhani (Dhani), menghasilkan sederetan daftar apatisme masyarakat terhadap proses pemilu, karena kepentingan pemilih belum terakomodir.
Luky Djani menggunakan pendekatan yang hampir sama yakni kepentingan pemilih atau bahasa yang digunakan adalah keuntungan pemilih dalam pemilu. Bahwa orang akan menggunakan hak pilihnya lebih didasarkan pada keuntungan yang akan didapat jika dia memilih. Persoalan partisipasi dan keinginan orang memilih atau tidak, akan dipengaruhi oleh tokoh dan sosok yang akan dipilih apakah mampu merepresentasikan atau mengakomodir kepentingan pemilih atau tidak. Sebagai contoh program bebas pajak yang digagas oleh kandidat, tentu tidak akan menarik bagi anak muda yang belum membayar pajak.
Artinya ketika kepentingan tidak bisa terakomodir dalam pemilu maka keinginan pemilih untuk berpartisipasi akan sangat rendah. Sepanjang keberadaan pemilih diposisikan sebagai objek dalam proses demokrasi ini, maka keterlibatannya dalam pemilu tidak cukup signifikan. Mengingat posisinya yang cukup strategis tidak hanya menjadi objek namun pusat dari seluruh kepentingan baik partai maupun kepentingan penyelenggara untuk meningkatkan partisipasi masyarakat. Oleh karenanya, konteks penyelenggaraan pemilu di Indonesia dari kurun waktu 1999 hingga 2009, ada banyak hal yang berkontribusi dalam partisipasi pemilih yakni faktor
politik dan faktor teknis yang kesemuanya terkait dengan terakomodir atau tidaknya kepentingan pemilih.
Hal-hal yang termasuk dalam faktor politik misalnya kinerja yang ditunjukkan oleh partai politik, lembaga legislatif, pejabat publik, jalannya pemerintahan, dampak kebijakan, yang semuanya dapat dirasakan, direspons, dan diamati oleh masyarakat/pemilih. Dalam hal ini pemilu dilihat sebagai sebuah siklus dari periode pemilihan, keterpilihan, berjalannya pemerintahan, lalu kembali lagi pada periode pemilihan dan seterusnya dimana pemilih melakukan asesmen secara terus menerus terhadap proses politik yang ada. Sehingga periode pemilihan (tahapan yang memfasilitasi pemilih dalam memberikan suara) akan sangat tergantung dari periode lainnya dalam siklus kepemiluan tersebut.
Sedangkan faktor teknis terkait langsung dengan periode pemilihan yaitu penyelenggaraan pemilu. Lembaga penyelenggara pemilu bertanggung jawab memfasilitasi pemilih sehingga dapat memberikan suaranya secara mudah (akses geografis), aman (tanpa ancaman), dan tepat (paham cara menandai surat suara). KPU memastikan bahwa pemilih yang datang ke TPS untuk memberikan suaranya, dapat terfasilitasi secara baik, dan menjamin bahwa suara pemilih dihitung dengan jujur. Kombinasi dari faktor politik dan faktor teknis yang menentukan tingkat partisipasi pemilih. Artinya tugas KPU sebagai penyelenggara pemilu adalah memfasilitasi dan menjamin aspek teknis pemilih yang memutuskan untuk memberikan suaranya. KPU tidak terkait dengan faktor politik yang berada di luar wilayah kewenangannya.
Melihat pembagian permasalahan di atas sesungguhnya ruang lingkup kewenangan KPU terbatas pada faktor teknis penyelenggaraan. KPU tidak terkait secara langsung dengan soal kinerja partai politik dan kondisi politik yang telah mempengaruhi partisipasi masyarakat. Persoalan korupsi yang melibatkan anggota DPR yang menimbulkan apatisme warga sehingga partisipasi masyarakat sangat kecil, tentu faktor-faktor ini berada diluar tanggungjawab penyelenggara pemilu. Tuntutan terhadap kebijakan publik yang pro terhadap kepentingan rakyat sebagai dampak penyelenggaraan pemilu tentu lebih berkolerasi terhadap upaya partai politik dan pejabat publik terkait untuk memberikan harapan bahwa pemilu berkolerasi positif terhadap kondisi politik dan ekonomi.
Ruang ini tentu berbeda dengan yang dimiliki oleh KPU sebagai penyelenggara pemilu. Posisinya sebagai penyelenggara lebih bertanggungjawab terhadap persoalan partisipasi masyarakat yang disebabkan oleh persoalan teknis penyelenggaraan pemilu. Ketika pemilih tidak menggunakan hak pilihnya akibat absennya informasi tentang mekanisme pemilihan atau hari pemungutan suara yang disampaikan oleh KPU maka tentu menjadi tanggungjawab penyelenggara. Berdasarkan hal itu maka menjadi tidak cukup relevan jika kemudian soal tinggi rendahnya partisipasi pemilih hanya menjadi tanggungjawab KPU. Begitu juga dengan target tingkat partisipasi pemilih hingga 75 persen (%).
Berdasarkan hal itu maka KPU sebagai penyelenggara pemilu mesti mulai mengambil fokus untuk melakukan pendidikan pemilih dalam memastikan bahwa pemilih memperoleh informasi yang memadai terkait dengan teknis penyelenggaraan pemilu. Penyelenggara pemilu mesti menyiapkan sistem pendidikan pemilih yang terintegrasi dengan seluruh jajaran penyelenggara baik ditingkat pusat, propinsi, kabupaten/kota bahkan tingkatan paling rendah sekalipun.
Sesungguhnya, persoalan partisipasi ini juga dialami oleh India mengingat tingkat partisipasinya dalam kurun waktu 60 tahun terakhir dibawah 60 persen (%). Oleh karena itu, KPU India menggandeng berbagai pihak baik dari media, masyarakat sipil dan semua pihak untuk bersama mensukseskan pemilu dan mensosialisasikan pemilu itu sendiri. Pendekatan yang digunakan India masih sama yakni urusan partisipasi ini tidak hanya menjadi kewajiban KPU namun juga partai politik agar menyediakan pilihan kandidat yang berkualitas dan itu tidak merupakan bagian dari KPU India untuk melakukan pendidikan politik. KPU hanya bertugas memastikan administrasi, managemen dan pendaftaran kandidat, namun untuk urusan kualitas sepenuhnya menjadi bagian lain dari partai politik dan pemangku kepentingan lainnya.
Kondisi ini tentu berbeda dengan yang terjadi di Australia dimana Australian Electoral Commission (AEC) memiliki peran lebih besar dari sekedar pendidikan pemilih. AEC juga melakukan pendidikan politik kewarganegaraan. Oleh karena itu, AEC membedakan antara education dengan information. Education dimaknai sebagai proses yang panjang dan berkaitan dengan pendidikan politik (civic education), sedangkan information lebih pada upaya jangka pendek untuk penyampaian informasi kepada pemilih terkait dengan pemilu.
Pola-pola ini tentu berbeda antara Indonesia, India dan Australia dalam memosisikan penyelenggara pemilu untuk melakukan pendidikan pemilih ataupun pendidikan politik. Mungkin KPU Indonesia sejak awal tidak diberikan ruang untuk melakukan pendidikan politik yang berarti dilakukan secara simultan tidak hanya pada periode pemilu namun juga setelah pelaksanaan pemilu berakhir. Oleh karena itu, pilihan kebijakan untuk mendorong partisipasi pemilih dengan melakukan penyampaian informasi terkait dengan penyelenggaraan akan menjadi pilihan tepat.

C. Strategi Pendidikan Pemilih

Pendidikan pemilih hendaknya dilakukan dengan memperhatikan berbagai perspektif yakni dengan melibatkan kelompok disabilitas, pemilih pemula/muda, perempuan, dan kelompok rentan lainnya. Perspektif pertama dari sisi penyandang disabilitas, kelompok ini justru sangat ingin berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemilu ditengah-tengah rendahnya tingkat partisipasi masyarakat. Evaluasinya, menurut Ariani dari PPUA PENCA mengatakan bahwa instrument hukum di dalam penyelenggaraan pemilu masih belum mengcover secara rinci untuk mengakses penyandang disabilitas. Pemilihan umum yang non dikskriminasi mestinya mampu
memberikan akses bagi semua pihak tanpa kecuali di dalam penyelenggaraan dan berpartisipasi di dalam pemilihan umum. Persoalan yang sempat muncul misalnya tidak tercatatnya jenis disabilitas dalam proses pendataan pemilih.
Terkait dengan metode sosialisasi juga belum ramah terhadap para penyandang disabilitas. Misalnya bahasa isyarat untuk tunarungu dan wicara, serta braile untuk para penyandang tunanetra belum menjadi bagian dari proses sosialisasi. KPU bisa saja memasukkan informasi tentang disabilitas dalam instrumen kampanye yang disusun, misalnya poster-poster sebagai alat sosialisasi pemilu yang didalamnya diikutkan atau disematkan informasi soal disabilitas. Kemudian untuk sosialisasi dengan menggunakan TV, diperlukan adanya fasilitas bahasa isyarat. Hal ini dimaksudkan agar seluruh media yang digunakan oleh KPU sebagai alat sosialisasi, merupakan media yang inklusif dan akses terhadap para penyandang disabilitas.
Perspektif anak muda/pemilih pemula, menurut Lia Toriana dari departemen Youth Transparancy International Indonesia (TII), hal kunci yang perlu dilihat dari pemilih muda dan pemilih pemula adalah hal pertama apa yang cukup berkesan bagi anak muda, termasuk apakah ikut menjadi pemilih pertama menjadi menarik bagi anak muda. Persoalan mendasarnya adalah kenapa anak muda terkadang hanya dijadikan objek segmentasi pemilu. Oleh karenanya perlu pendekatan lain terkait dengan metode dan sarana komunikasi dalam pendidikan pemilih bagi kelompok muda.
Sosial media dan internet menjadi suatu solusi baru untuk lahirnya komunitas yang peduli terhadap isu-isu tertentu. Ini tentu bisa menjadi alat sosialisasi pemilu. Peningkatan partisipasi anak muda tidak hanya dengan sosialisasi. Tetapi KPU mestinya melepas sekat normatif antara penyelenggara dengan masyarakat. Masih ada jarak di dalam sosialisasi antara penyelenggara pemilu dengan masyarakat. Ini dimaksudkan agar pemilu bisa menjadi milik semua. Perlu ada pemetaan kelompok komunitas yang kuat bisa bekerja di dalam mensukseskan pemilu, yang salah satu aktivitasnya adalah sosialisasi.
Fokus lain soal strategi pendidikan pemilih dalam perspektif perempuan. Menurut Lia Anggi dari Koalisi Perempuan Indonesia, hal terpenting adalah bagaimana meningkatkan partisipasi perempuan di dalam politik. Strateginya adalah memastikan perempuan yang duduk di parlemen 30 persen dari seluruh jumlah anggota DPR. Untuk menjawab ini, koalisi perempuan telah membuat sebuah modul khusus untuk perempuan di dalam menyongsong Pemilu 2014. Dari hasil kajian yang dilakukan oleh KPI, banyak perempuan yang masih asing dengan pemilu. Misalnya untuk apa pemilu, bagaimana cara ikut pemilu, serta cara mencoblos di dalam pemilu seperti apa.
Beberapa mekanisme sosialisasi tersebut cukup menarik dari beragam perspektif. Namun dari sisi penyelenggarapun juga memiliki pengalaman menarik
sebagai bentuk kreatifitas seperti yang pernah dilakukan oleh Endun Abdul Haq sewaktu menjabat sebagai KPU Kuningan Jawa Bawat. Ada beberapa catatan penting disampaikan dari apa yang telah dilakukan oleh KPU Jawa Barat. Dari segi sistem, khususnya untuk pendaftaran pemilih, KPU yakin partisipasi pemilih akan meningkat meskipun anggaran sosialisasi yang disediakan sangat terbatas. Di Jawa Barat misalnya, dengan adanya batasan anggaran, bisa menciptakan suatu metode sosialisasi dengan menciptakan radio online. Kemudian KPU juga melakukan broadcast sms kepada masyarakat. KPU melakukan diskusi terbatas dengan nama kegiatan ngopi, “ngobrol pemilu dan demokrasi”. Kegiatan-kegiatan ini tidak dianggarkan di dalam pos anggaran KPU.
Menurut Endun, perlu digagas suatu program khusus semacam master plane untuk meningkatkan partisipasi pemilih sebagai instrument khusus dari penyelenggara pemilu. Beberapa contoh kegiatan sosialisasi yang dapat dilakukan adalah membuat kelas pemilu, cerdas cermat pemilu, atau aktivitas lain yang berkelanjutan yang dapat dijadikan ajang dalam pendidikan pemilih. Rancangan untuk pendidikan pemilih harus dibuat diluar tahapan pemilu yang ada.
Pengalaman Sahruni HR di KPU Pusat, menurutnya KPU tidak bisa hanya menjadi informan, tetapi juga berperan sebagai pelaku pendidikan politik. Salah satu media sosialisasi KPU adalah melalui media sosial dan elektronik. Sosialisasi dalam bentuk lain yang dilakukan oleh KPU adalah mengejar sosialisasi di kampus-kampus seperti program KPU goes to campus pada 2013 yang lalu. Politik anggaran di dalam penyelenggaraan pemilu juga sangat perlu untuk diperbaiki. Kondisi yang ada sekarang, harus diakui bahwa politik anggaran secara tidak langsung menganggu tahapan dan penyelenggaraan pemilu.
Cate Thompson dari AEC, kembali menyoroti perisitilah yang ada di dalam pemilu Misalnya penggunaan kaum marginal, seharusnya bisa diganti dengan kata-kata keberagaman yang ada di antara kita. Kesetaraan dan strategi di dalam melakukan sosialisasi pemilu merupakan unsur yang sangat penting.
Sedangkan salah satu Direktur Jenderal dari KPU India, Akhsay Rout, mengatakan ada empat area yang masih perlu ditingkatkan yaitu, pemilih pemula, gender, turis dan urban, serta orang-orang yang memiliki situasi sulit. Ini tentu bisa menjadi fokus dan perhatian juga, karena potensi ini terjadi di dalam persoalan sosialisasi pemilu di Indonesia. Kemudian kampus juga perlu dimaksimalkan, Karena pihak kampus bisa menjadi agen yang baik dan bisa menyampaikan informasi secara seimbang dan objektif. Manajemen dan struktur, serta kerangka kerja bagaimana penyelenggaraan pemilu itu menjadi sangat penting. Hal ini dipastikan akan sangat berpengaruh pada tingkat partisipasi pemilih.
Berdasarkan pemaparan tersebut yang paling penting adalah peran KPU dalam melakukan pendidikan pemilih ditujukan untuk memfasilitasi pemilih dalam memberikan suara secara mudah, aman, dan tepat. Kegiatan-kegiatan tersebut mestinya dilakukan dengan melalui perencanaan yang cukup matang. Perencanaan sosialisasi pemilu tersebut dilakukan melalui tiga fase yakni (1) Pengenalan, (2) Pemantapan, dan (3) Penentuan. Mengacu pada tiga fase tersebut maka kegiatan sosialisasi pemilu akan menjadi siklus yang berkelanjutan, dan akhirnya menghasilkan penguatan dan pemahaman tentang kepemiluan di masyarakat secara terus menerus. Sosialisasi pemilu tidak bisa dianggap sebagai kegiatan temporer belaka, tetapi sama pentingnya dengan tahapan penyelenggaraan pemilu lainnya. Sehingga sangat mendesak bagi KPU khususnya untuk menyiapkan dengan serius strategi sosialisasi pemilu yang berkelanjutan dan capaian yang terukur pada setiap kegiatannya.


D. Penggunaan Media Sosial dalam Pemilu

Aktifitas penggunaan media sosial dalam pemilu cukup beragam diperankan oleh kelompok masyarakat sipil. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mendorong tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilu. Seperti yang dilakukan oleh Umar Idris dengan komunitas AJI Jakarta. AJI sebagai komunitas wartawan menyiapkan satu aplikasi yang memudahkan dalam melakukan pemantauan pemilu. AJI Jakarta di dalam penyelenggaraan pemilu kali ini, membuat suatu alat pemantauan dalam bentuk aplikasi yang bernama Matamassa. Aplikasi ini akan dimanfaatkan sebagai alat pantau bagi masyarakat dalam melakukan laporan dugaan pelanggaran pemilu. Laporan berbasis online ini, akan diverifikasi sesuai dengan syarat formil suatu laporan pelanggaran. Jika laporan pelanggaran tersebut sudah diverifikasi, barulah akan di publikasikan di web Matamassa. Tindak lanjut dari laporan pelanggaran ini juga sudah dirancang untuk terhubung dengan web Bawaslu, agar setiap laporan terverifikasi bisa
langsung terkoneksi dengan Bawaslu, agar bisa segera ditindaklanjuti. Aplikasi ini sesungguhnya bisa digunakan oleh KPU dalam menyebarkan informasi pemilu atau untuk melakukan pengecekan apakah pemilih telah terdaftar atau belum.
Alvin Nikola, dari Celup Kelingking, sepakat dengan pernyataan bahwa masyarakat sipil punya kekuatan yang besar untuk melakukan perubahan. Gerakan dari masyarakat sipil, tentu harus sesuai dengan minat dan segmen dari masing-masing komunitas. Hasil trend yang dimiliki oleh Celup Kelingking, bahwa mempunyai gadget dan media sosial itu adalah sesuatu yang penting, khusus untuk anak muda. Anak muda harus peduli terhadap politik. Ini disebabkan oleh politik sangat dekat dengan kahidupan. Gerakan Celup Kelingking juga akan melibatkan para simpatisannya untuk terlibat aktif di dalam aktivitas Celup Kelingking. Ada tiga media kanal untuk aktivitas. Facebook untuk menciptakan branding, twitter sebagai tempat untuk berinteraksi, dan you tube akan digunakan untuk berbagi ide dan gagasan.
Usep Hasan, Rumah Pemilu merupakan gerakan yang berupaya untuk meningkatkan partisipasi pemilih di dalam pemilu. Gerakan media sosial pemilu ini juga terinspirasi dari gerakan antikorupsi. Gerakan antikorupsi yang sangat ramai di media sosial, namun sepi di aksi nyata. Kekhawatiran ini juga terjadi pada hal yang sama pada isu pemilu. Gerakan pemilu ramai di media sosial, tetapi sepi di aksi nyata, terutama pada tingkat partisipasi pemilih. Rumah Pemilu mencoba mempositifkan pemberitaan tentang pemilu, karena elemen pemilu dinilai buruk oleh masyarakat. Pada awalnya, yang banyak mengikuti Rumah Pemilu adalah penyelenggara pemilu. Namun karena jumlah penyelenggara pemilu tidak bertambah, oleh sebab itu, Rumah Pemilu mengembangkan jaringan ke CSO dan komunitas yang lain.
Jose Rizal - Politica Wave, pertanyaan awal apakah sosial media sudah memberikan efek di masyarakat Indonesia. Memang belum semua masyarakat sudah menggunakan sosial media, tetapi tolak ukur kita tetap digunakan dari jumlah pengguna sosial media saja. Salah satu kajian yang pernah dilakukan oleh Politica Wave adalah pada pelaksanaan pilkada DKI, bahwa kekuatan sosial media sangat berpengaruh pada hasil akhir suatu pemilu. Membuktikannya secara akademik juga sulit, tetapi data faktual mengatakan sosial media berpengaruh pada pemenang pemilu. Dari segi jumlah, pengguna sosial media mayoritas adalah anak muda. Artinya, anak muda sudah mulai peduli terhadap isu pemilu. Kemudian efek lain adalah, sosial media juga berpengaruh untuk menembus birokrasi. Karena banyak para pemimpin terlibat aktif di media sosial. Pengguna sosial media juga mayoritas adalah orang-orang yang teredukasi dan terbiasa dalam beragumentasi.
John Muhammad, Public Virtue Institute, teknologi dan politik mempunyai hubungan yang sangat kuat. Pada zaman radio, kekuatan politik yang berasal dari orator politik, bisa berkuasa karena pengaruh radio. Sekarang adalah zaman internet. Internet adalah medium. Jika internet ini tidak bisa dikuasai oleh citizen, maka akan dikuasai oleh orang-orang jahat. Semua orang bisa memanfaatkan media sosial ini.
Sebelum semua menjadi buruk, masyarakat sipil harus masuk ke dalam hal ini. Media sosial adalah adalah sarana interaksi langsung. Tidak ada rekayasa disini. Oleh sebab itu perlu penyesuaian keseimbangan dalam interaksi. Namun lebih dari itu, gaya berinteraksi di dalam media sosial haruslah citra nyata dari mereka yang berkomunikasi di dalam media sosial. Tetapi semua dari kekuatan media sosial seperti change.org, harus ada impact politik yang harus dilakukan. Karena jika terus menerus hanya pada media sosial, tidak akan mendapatkan impact apa-apa. Seharusnya ada panduan pemilih di dalam bentuk digital. Ini menjadi penting juga berefek pada partisipasi dan pendidikan pemilih. Public Virtue Institute punya gagasan untuk membuat suatu meteran politik. Sederhananya, ini akan memberikan sentiment kepada para caleg, dan membuka ruang untuk berkomunikasi langsung antara caleg dan pemilih. Meteran politik ini juga akan menunjukkan apakah dari seorang caleg layak untuk dipilih atau tidak. Misalnya, keterbukaan informasi dari para caleg, dan adanya ruang interaksi dengan caleg tersebut.
Ahmad Suwandi, ILAB adalah lembaga yang konsern pada pengguna internet agar murah, netral dan akses untuk siapa saja. ILAB mengatakan teknologi baru bukan substitusi dari teknologi sebelumnya. Misalnya TV bukan untuk mematikan radio. Teknologi yang baru bukanlah penyelesai dari persoalan kehidupan. Sebaran internet tidak merata. Pengguna internet di Indonesia adalah digital natif. Mayoritas adalah mereka yang ketika lahir sudah mengenal internet. Hal yang banyak diperbincangkan di internet adalah apa saja yang dilihat sehari-hari.
Kebanyakan informasi pemilu kalah dengan percakapan dan informasi yang hanya dilihat per hari oleh para pengguna media sosial. Jika ingin berkampanye di media sosial punya kecendrungan yang berbeda-beda. Di Jawa misalnya, lebih 75% anak mudanya adalah pengguna internet. Dibandingkan dengan derah diluar Jawa, di Sumatera misalnya, pengguna internet sangat jauh dibawah, karena di sumatera kebanyakan anak muda masih menggunakan sms.
Akshay Rout, KPU India, sosial media itu adalah sebuah pilihan, bagaimana kita menggunakannya sebagai alat dalam pemilihan umum. Di India juga semakin banyak masyarakat yang menggunakan sosial media. Kita ingin lihat bagaimana konektifitas dari internet dalam peningkatan partisipasi memilih dari anak muda. Hal ini dapat menjadi suatu ruang dimana KPU dapat terlibat. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah bagaimana melibatkan para pemilih muda. Tadi juga mengatakan agar sosial media juga membatasi bagaimana untuk menghindari dari kecurangan di dalam pemilu. Siapapun bisa memanfaatkan sosial media. Dalam hal ini, di India KPU fokus pada kandidat yang sudah menggunakan sosial media. Kami tidak mengatur di sosial media di India. Kampanye lewat sosial media masih menjadi sesuatu yang bebas dari India. KPU India juga memperkenalkan bagaimana sertifikasi di dalam penggunaan media sosial, juga bekerja sama dengan FB, Twitter, dll. KPU tidak bisa menghapus secara seketika (real time). KPU dan penyelenggara juga bisa memanfaatkan ruang ini dalam
rangka melakukan sosialisasi pemilu. Intinya adalah jika dikaitkan dengan pemilu, bagaimana pengguna sosial media ini bisa memberikan peningkatan terhadap tingkat partisipasi pemilih.
–Cate Thompson - AEC, sosial media sangat cocok dengan suatu evolusi yang sering disebut Darwin. Mungkin kita akan terus berubah sepanjang jalan terkait dengan sosial media. Ide yang disampaikan adalah ide-ide yang sangat bagus, dan jika bisa dikonsolidasikan akan menjadi suatu yang sangat bagus. Ada beberapa ide yang patut dipertimbangkan. Antara lain adalah matamassa. Ini adalah suatu potret bagaimana penggunaan dilakukan dengan positif dan sangat baik. Akan selalu ada cara lain dalam menggunakan sosial media.
E. Kesimpulan dan Rekomendasi

Berdasarkan pembahasan di atas maka bisa diambil beberapa kesimpulan menjawab pertanyaan yang telah diajukan yakni sebagai berikut:
1. Ada dua penyebab yang menyebabkan rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilu. Pertama faktor politik yakni terkait dengan kinerja aktor-aktor produk pemilu seperti eksekutif dan legislatif. Apakah aktor-aktor ini mampu memenuhi janji politik atau kebutuhan masyarakat dengan menghadirkan kebijakan yang pro publik atau tidak. Jika tidak mampu memenuhinya maka akan menimbulkan apatisme masyarakat terhadap pemilu. Kedua, faktor teknis yakni terkait dengan penyelenggaraan pemilu. Berdasarkan hal itu, tidak semua persoalan partisipasi pemilih dibebankan dan menjadi tanggungjawab penyelenggara pemilu. Oleh karenanya ini berkolerasi terhadap strategi pendidikan pemilih oleh penyelenggara yakni dalam rangka memudahkan pemilih menggunakan hak pilihnya.
2. Strategi pendidikan pemilih harus memperhatikan beberapa kelompok rentan seperti penyandang disabilitas, kelompok pemilih pemula/muda, dan perempuan. Namun lebih penting lagi jika KPU Pusat memiliki strategi pendidikan pemilih yang bisa diintegrasikan sebagai satu strategi nasional yang akan dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu tingkat bawah.
3. Kehadiran media sosial merupakan peluang baik bagi penyelenggara pemilu dalam melakukan pendidikan pemilih dan penyampaian informasi pemilu. Media sosial bisa menjadi instrumen baik untuk melengkapi strategi pendidikan dan penyampaian informasi pemilih yang sekarang sedang berjalan.

Berdasarkan bahasan dan kesimpulan tersebut maka ada beberapa rekomendasi baik untuk kebijakan jangka panjang maupun jangka pendek sebagai berikut:
Jangka Panjang:
1. KPU mesti memiliki strategi dalam melakukan pendidikan pemilih yakni melalui tiga fase yakni Pengenalan, Pemantapan, dan Penentuan. Strategi pengenalan


bertujuan untuk memberikan pengetahuan tentang aspek kepemiluan. Sedangkan pemantapan bertujuan untuk melakukan penguatan pengetahuan kepemiluan dengan mlibatkan jejaring dan komunitas, terkahir monitoring dan evaluasi serta dampak sosialisasi pemilu.
2. Strategi pendidikan pemilih mestinya disusun oleh KPU Pusat dengan partisipasi penyelenggara pemilu di bawahnya. Strategi yang sudah tersusun ini kemudian dijalankan secara serentak dan bersama-sama oleh seluruh struktur penyelenggara pemilu dibawahnya sehingga inovasi penyampaian informasi kepada pemilih bisa diterapkan secara merata oleh seluruh KPU propinsi dan kabupaten/kota.

Jangka Menengah/Pendek:
1. Pelibatan komunitas diperlukan dalam melakukan pendidikan pemilih dan penyampaian informasi pemilu. Pendekatan yang bisa dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai perspektif seperti disabilitas, perempuan dan pemilih muda.
2. Instrumen sosialisasi pemilu yang diproduksi oleh KPU hendaknya melibatkan atau menyertakan perspektif disabilitas, perempuan dan pemilih muda.
3. Mengingat pemilu sudah dekat, KPU bisa melakukan sosialisasi pemilu dengan melibatkan sekolah dan universitas sehingga akan semakin banyak orang yang akan melakukan sosialisasi dan menyebarkan informasi.
4. Penggunaan media sosial hendaknya segera dikelola secara massif sehingga akan menunjang dan memperluas upaya penyebaran informasi. Mengingat penggunaan media sosial memiliki karakteristik yang jauh berbeda maka pelibatan komunitas yang aktif dalam penggunaan media sosial bisa dilakukan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar