Laman

Jumat, 04 Juli 2014

Partisipasi pemilih dalam pemilu 2014

A. Pendahuluan

Pemilu Legislatif 2014 akan dilaksanakan dalam kurun waktu 30 hari lagi, yakni pada 9 April 2014. Pemilu legislatif ini akan memilih kurang lebih 19.700 (Sembilan belas ribu tujuh ratus) kandidat caleg yang tersebar di 2.450 (dua ribu empat ratus lima puluh) daerah pemilihan. Oleh karena itu, pemilu di Indonesia dikenal sebagai salah satu pemilu terbesar di dunia yang juga melibatkan hampir 20.000 (dua puluh ribu) calon anggota legislatif (caleg), juga lebih dari 186 (seratus delapan puluh enam) juta pemiilh.
Kondisi ini tentu menjadikan pelaksanaan pemilu tak terbayangkan rumitnya. KPU sebagai penyelenggara pemilu akan menghadapi tantangan luar biasa untuk mengorganisir penyelenggaraannya. Tantangan terbesarnya adalah mendorong partisipasi masyarakat dalam penggunaan hak pilih pada 9 April 2014 nanti. Berkaca dari pengalaman pemilu di Indonesia sejak Pemilu 1999 hingga 2009, terjadi penurunan partisipasi pemilih cukup signifikan. Tingkat partisipasi terus menurun dari 92 persen (%) pada Pemilu 1999 menjadi 84 persen (%) di 2004, dan terus menurun saat penyelenggaraan Pemilu 2009, yakni tinggal 71 persen (%). Secara konsisten rata-rata penurunan dari tiga periode pemilu tersebut sebesar kurang lebih 10 persen (%). Jika trend ini diikuti maka sangat mungkin Pemilu 2014 tingkat partisipasinya tinggal 60 persen (%). Selain menurunnya angka partisipasi pada 3 periode pemilu, jumlah suara tidak sah juga terus mengalami kenaikan dari 3.3 persen (%) pada Pemilu 1999 menjadi 9.7 persen (%) pada Pemilu 2004, dan melonjak pada angka 14.4 persen (%) di Pemilu 2009.
Meskipun kecenderungannya menurun, namun KPU memiliki target tinggi dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat dalam Pemilu 2014, hingga 75 persen (%). Target ini merupakan bagian dari sikap serta komitmen penyelenggara pemilu untuk menguatkan legitimasi penyelenggaraan pemilu, meskipun hal itu dirasa cukup berat. Mengingat hal itu, maka pertanyaannya adalah apa yang harus dilakukan untuk mendorong tingkat partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemilu 2014?
Berdasarkan pertanyaan itu maka ada beberapa hal yang harus dijawab yakni pertama, apa yang menyebabkan rendahnya tingkat partisipasi pemilih dalam setiap penyelenggaraan pemilu? kedua, bagaimana mekanisme dan metode pendidikan pemilih yang dilakukan oleh KPU? Ketiga, bagaimana menjawab peluang penggunaan teknologi informasi dan media sosial dalam mendorong tingkat partisipasi pemilih. Harapannya berdasarkan pertanyaan ini muncul rekomendasi untuk peningkatan partisipasi pemilih dalam Pemilu 2014.
Menjawab persoalan tersebut, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyelenggarakan Workshop Knowledge Sharing “Mendorong Partisipasi Pemilih dalam Pemilu 2014” bekerjasama dengan Australian Electoral Commission (AEC) dengan mengundang KPU India, KPU Australia dan stake holder dalam negeri seperti KPU (propinsi/kabupaten/kota), akademisi, media, pemantau pemilu, dan
aktivis media sosial. Kegiatan yang berlangsung sejak tanggal 19 hingga 20 Februari 2014 ini dilakukan untuk saling berbagi ilmu dan pengalaman dimasing-masing negara dan lintas bidang dalam mendorong partisipasi masyarakat. Melalui kegiatan ini, Indonesia bisa belajar dari India dan Australia, begitu juga sebaliknya akan ditemukan sejumlah hal menarik yang akan menjadi informasi baik untuk kedua negara.

B. Problem Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu

Reformasi telah membawa perubahan terhadap penyelenggaraan pemilu, dimana pemilu dipahami sebagai arena persaingan terbuka antarpeserta pemilu untuk memobilisasi dukungan suara pemilih. Akibatnya terjadi interaksi yang relatif intens antara warga/pemilih dengan peserta pemilu, pemerintah, penyelenggara, lembaga pengawas pemilu, dan juga pemantau. Dalam interaksi ini, pemilih berada pada posisi yang sejajar/setara dengan elemen lainnya, jika tidak harus mengatakan pada posisi diuntungkan. Peserta pemilu membutuhkan dukungan pemilih, begitu juga dengan penyelenggara pemilu yang berusaha meningkatkan keterlibatan pemilih dalam pemilu.
Ditengah-tengah kepentingan yang begitu besar, kepentingan pemilih justru tertinggal dan hampir terlupakan. Pemilih hanya diposisikan sebagai objek dalam pertarungan politik antar peserta pemilu baik partai politik maupun kandidat. Begitu juga dengan kepentingan pemilih untuk memberikan hak suara berdasarkan informasi yang memadai, akses terbuka terhadap rekam jejak peserta pemilu, akses terbuka terhadap informasi kepemiluan, bebas dari intimidasi dan mobilisasi yang sesungguhnya belum terkelola secara memadai, intensif, dan berkualitas. Kondisi inilah yang menurut Sri Budi Eko Wardhani (Dhani), menghasilkan sederetan daftar apatisme masyarakat terhadap proses pemilu, karena kepentingan pemilih belum terakomodir.
Luky Djani menggunakan pendekatan yang hampir sama yakni kepentingan pemilih atau bahasa yang digunakan adalah keuntungan pemilih dalam pemilu. Bahwa orang akan menggunakan hak pilihnya lebih didasarkan pada keuntungan yang akan didapat jika dia memilih. Persoalan partisipasi dan keinginan orang memilih atau tidak, akan dipengaruhi oleh tokoh dan sosok yang akan dipilih apakah mampu merepresentasikan atau mengakomodir kepentingan pemilih atau tidak. Sebagai contoh program bebas pajak yang digagas oleh kandidat, tentu tidak akan menarik bagi anak muda yang belum membayar pajak.
Artinya ketika kepentingan tidak bisa terakomodir dalam pemilu maka keinginan pemilih untuk berpartisipasi akan sangat rendah. Sepanjang keberadaan pemilih diposisikan sebagai objek dalam proses demokrasi ini, maka keterlibatannya dalam pemilu tidak cukup signifikan. Mengingat posisinya yang cukup strategis tidak hanya menjadi objek namun pusat dari seluruh kepentingan baik partai maupun kepentingan penyelenggara untuk meningkatkan partisipasi masyarakat. Oleh karenanya, konteks penyelenggaraan pemilu di Indonesia dari kurun waktu 1999 hingga 2009, ada banyak hal yang berkontribusi dalam partisipasi pemilih yakni faktor
politik dan faktor teknis yang kesemuanya terkait dengan terakomodir atau tidaknya kepentingan pemilih.
Hal-hal yang termasuk dalam faktor politik misalnya kinerja yang ditunjukkan oleh partai politik, lembaga legislatif, pejabat publik, jalannya pemerintahan, dampak kebijakan, yang semuanya dapat dirasakan, direspons, dan diamati oleh masyarakat/pemilih. Dalam hal ini pemilu dilihat sebagai sebuah siklus dari periode pemilihan, keterpilihan, berjalannya pemerintahan, lalu kembali lagi pada periode pemilihan dan seterusnya dimana pemilih melakukan asesmen secara terus menerus terhadap proses politik yang ada. Sehingga periode pemilihan (tahapan yang memfasilitasi pemilih dalam memberikan suara) akan sangat tergantung dari periode lainnya dalam siklus kepemiluan tersebut.
Sedangkan faktor teknis terkait langsung dengan periode pemilihan yaitu penyelenggaraan pemilu. Lembaga penyelenggara pemilu bertanggung jawab memfasilitasi pemilih sehingga dapat memberikan suaranya secara mudah (akses geografis), aman (tanpa ancaman), dan tepat (paham cara menandai surat suara). KPU memastikan bahwa pemilih yang datang ke TPS untuk memberikan suaranya, dapat terfasilitasi secara baik, dan menjamin bahwa suara pemilih dihitung dengan jujur. Kombinasi dari faktor politik dan faktor teknis yang menentukan tingkat partisipasi pemilih. Artinya tugas KPU sebagai penyelenggara pemilu adalah memfasilitasi dan menjamin aspek teknis pemilih yang memutuskan untuk memberikan suaranya. KPU tidak terkait dengan faktor politik yang berada di luar wilayah kewenangannya.
Melihat pembagian permasalahan di atas sesungguhnya ruang lingkup kewenangan KPU terbatas pada faktor teknis penyelenggaraan. KPU tidak terkait secara langsung dengan soal kinerja partai politik dan kondisi politik yang telah mempengaruhi partisipasi masyarakat. Persoalan korupsi yang melibatkan anggota DPR yang menimbulkan apatisme warga sehingga partisipasi masyarakat sangat kecil, tentu faktor-faktor ini berada diluar tanggungjawab penyelenggara pemilu. Tuntutan terhadap kebijakan publik yang pro terhadap kepentingan rakyat sebagai dampak penyelenggaraan pemilu tentu lebih berkolerasi terhadap upaya partai politik dan pejabat publik terkait untuk memberikan harapan bahwa pemilu berkolerasi positif terhadap kondisi politik dan ekonomi.
Ruang ini tentu berbeda dengan yang dimiliki oleh KPU sebagai penyelenggara pemilu. Posisinya sebagai penyelenggara lebih bertanggungjawab terhadap persoalan partisipasi masyarakat yang disebabkan oleh persoalan teknis penyelenggaraan pemilu. Ketika pemilih tidak menggunakan hak pilihnya akibat absennya informasi tentang mekanisme pemilihan atau hari pemungutan suara yang disampaikan oleh KPU maka tentu menjadi tanggungjawab penyelenggara. Berdasarkan hal itu maka menjadi tidak cukup relevan jika kemudian soal tinggi rendahnya partisipasi pemilih hanya menjadi tanggungjawab KPU. Begitu juga dengan target tingkat partisipasi pemilih hingga 75 persen (%).
Berdasarkan hal itu maka KPU sebagai penyelenggara pemilu mesti mulai mengambil fokus untuk melakukan pendidikan pemilih dalam memastikan bahwa pemilih memperoleh informasi yang memadai terkait dengan teknis penyelenggaraan pemilu. Penyelenggara pemilu mesti menyiapkan sistem pendidikan pemilih yang terintegrasi dengan seluruh jajaran penyelenggara baik ditingkat pusat, propinsi, kabupaten/kota bahkan tingkatan paling rendah sekalipun.
Sesungguhnya, persoalan partisipasi ini juga dialami oleh India mengingat tingkat partisipasinya dalam kurun waktu 60 tahun terakhir dibawah 60 persen (%). Oleh karena itu, KPU India menggandeng berbagai pihak baik dari media, masyarakat sipil dan semua pihak untuk bersama mensukseskan pemilu dan mensosialisasikan pemilu itu sendiri. Pendekatan yang digunakan India masih sama yakni urusan partisipasi ini tidak hanya menjadi kewajiban KPU namun juga partai politik agar menyediakan pilihan kandidat yang berkualitas dan itu tidak merupakan bagian dari KPU India untuk melakukan pendidikan politik. KPU hanya bertugas memastikan administrasi, managemen dan pendaftaran kandidat, namun untuk urusan kualitas sepenuhnya menjadi bagian lain dari partai politik dan pemangku kepentingan lainnya.
Kondisi ini tentu berbeda dengan yang terjadi di Australia dimana Australian Electoral Commission (AEC) memiliki peran lebih besar dari sekedar pendidikan pemilih. AEC juga melakukan pendidikan politik kewarganegaraan. Oleh karena itu, AEC membedakan antara education dengan information. Education dimaknai sebagai proses yang panjang dan berkaitan dengan pendidikan politik (civic education), sedangkan information lebih pada upaya jangka pendek untuk penyampaian informasi kepada pemilih terkait dengan pemilu.
Pola-pola ini tentu berbeda antara Indonesia, India dan Australia dalam memosisikan penyelenggara pemilu untuk melakukan pendidikan pemilih ataupun pendidikan politik. Mungkin KPU Indonesia sejak awal tidak diberikan ruang untuk melakukan pendidikan politik yang berarti dilakukan secara simultan tidak hanya pada periode pemilu namun juga setelah pelaksanaan pemilu berakhir. Oleh karena itu, pilihan kebijakan untuk mendorong partisipasi pemilih dengan melakukan penyampaian informasi terkait dengan penyelenggaraan akan menjadi pilihan tepat.

C. Strategi Pendidikan Pemilih

Pendidikan pemilih hendaknya dilakukan dengan memperhatikan berbagai perspektif yakni dengan melibatkan kelompok disabilitas, pemilih pemula/muda, perempuan, dan kelompok rentan lainnya. Perspektif pertama dari sisi penyandang disabilitas, kelompok ini justru sangat ingin berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemilu ditengah-tengah rendahnya tingkat partisipasi masyarakat. Evaluasinya, menurut Ariani dari PPUA PENCA mengatakan bahwa instrument hukum di dalam penyelenggaraan pemilu masih belum mengcover secara rinci untuk mengakses penyandang disabilitas. Pemilihan umum yang non dikskriminasi mestinya mampu
memberikan akses bagi semua pihak tanpa kecuali di dalam penyelenggaraan dan berpartisipasi di dalam pemilihan umum. Persoalan yang sempat muncul misalnya tidak tercatatnya jenis disabilitas dalam proses pendataan pemilih.
Terkait dengan metode sosialisasi juga belum ramah terhadap para penyandang disabilitas. Misalnya bahasa isyarat untuk tunarungu dan wicara, serta braile untuk para penyandang tunanetra belum menjadi bagian dari proses sosialisasi. KPU bisa saja memasukkan informasi tentang disabilitas dalam instrumen kampanye yang disusun, misalnya poster-poster sebagai alat sosialisasi pemilu yang didalamnya diikutkan atau disematkan informasi soal disabilitas. Kemudian untuk sosialisasi dengan menggunakan TV, diperlukan adanya fasilitas bahasa isyarat. Hal ini dimaksudkan agar seluruh media yang digunakan oleh KPU sebagai alat sosialisasi, merupakan media yang inklusif dan akses terhadap para penyandang disabilitas.
Perspektif anak muda/pemilih pemula, menurut Lia Toriana dari departemen Youth Transparancy International Indonesia (TII), hal kunci yang perlu dilihat dari pemilih muda dan pemilih pemula adalah hal pertama apa yang cukup berkesan bagi anak muda, termasuk apakah ikut menjadi pemilih pertama menjadi menarik bagi anak muda. Persoalan mendasarnya adalah kenapa anak muda terkadang hanya dijadikan objek segmentasi pemilu. Oleh karenanya perlu pendekatan lain terkait dengan metode dan sarana komunikasi dalam pendidikan pemilih bagi kelompok muda.
Sosial media dan internet menjadi suatu solusi baru untuk lahirnya komunitas yang peduli terhadap isu-isu tertentu. Ini tentu bisa menjadi alat sosialisasi pemilu. Peningkatan partisipasi anak muda tidak hanya dengan sosialisasi. Tetapi KPU mestinya melepas sekat normatif antara penyelenggara dengan masyarakat. Masih ada jarak di dalam sosialisasi antara penyelenggara pemilu dengan masyarakat. Ini dimaksudkan agar pemilu bisa menjadi milik semua. Perlu ada pemetaan kelompok komunitas yang kuat bisa bekerja di dalam mensukseskan pemilu, yang salah satu aktivitasnya adalah sosialisasi.
Fokus lain soal strategi pendidikan pemilih dalam perspektif perempuan. Menurut Lia Anggi dari Koalisi Perempuan Indonesia, hal terpenting adalah bagaimana meningkatkan partisipasi perempuan di dalam politik. Strateginya adalah memastikan perempuan yang duduk di parlemen 30 persen dari seluruh jumlah anggota DPR. Untuk menjawab ini, koalisi perempuan telah membuat sebuah modul khusus untuk perempuan di dalam menyongsong Pemilu 2014. Dari hasil kajian yang dilakukan oleh KPI, banyak perempuan yang masih asing dengan pemilu. Misalnya untuk apa pemilu, bagaimana cara ikut pemilu, serta cara mencoblos di dalam pemilu seperti apa.
Beberapa mekanisme sosialisasi tersebut cukup menarik dari beragam perspektif. Namun dari sisi penyelenggarapun juga memiliki pengalaman menarik
sebagai bentuk kreatifitas seperti yang pernah dilakukan oleh Endun Abdul Haq sewaktu menjabat sebagai KPU Kuningan Jawa Bawat. Ada beberapa catatan penting disampaikan dari apa yang telah dilakukan oleh KPU Jawa Barat. Dari segi sistem, khususnya untuk pendaftaran pemilih, KPU yakin partisipasi pemilih akan meningkat meskipun anggaran sosialisasi yang disediakan sangat terbatas. Di Jawa Barat misalnya, dengan adanya batasan anggaran, bisa menciptakan suatu metode sosialisasi dengan menciptakan radio online. Kemudian KPU juga melakukan broadcast sms kepada masyarakat. KPU melakukan diskusi terbatas dengan nama kegiatan ngopi, “ngobrol pemilu dan demokrasi”. Kegiatan-kegiatan ini tidak dianggarkan di dalam pos anggaran KPU.
Menurut Endun, perlu digagas suatu program khusus semacam master plane untuk meningkatkan partisipasi pemilih sebagai instrument khusus dari penyelenggara pemilu. Beberapa contoh kegiatan sosialisasi yang dapat dilakukan adalah membuat kelas pemilu, cerdas cermat pemilu, atau aktivitas lain yang berkelanjutan yang dapat dijadikan ajang dalam pendidikan pemilih. Rancangan untuk pendidikan pemilih harus dibuat diluar tahapan pemilu yang ada.
Pengalaman Sahruni HR di KPU Pusat, menurutnya KPU tidak bisa hanya menjadi informan, tetapi juga berperan sebagai pelaku pendidikan politik. Salah satu media sosialisasi KPU adalah melalui media sosial dan elektronik. Sosialisasi dalam bentuk lain yang dilakukan oleh KPU adalah mengejar sosialisasi di kampus-kampus seperti program KPU goes to campus pada 2013 yang lalu. Politik anggaran di dalam penyelenggaraan pemilu juga sangat perlu untuk diperbaiki. Kondisi yang ada sekarang, harus diakui bahwa politik anggaran secara tidak langsung menganggu tahapan dan penyelenggaraan pemilu.
Cate Thompson dari AEC, kembali menyoroti perisitilah yang ada di dalam pemilu Misalnya penggunaan kaum marginal, seharusnya bisa diganti dengan kata-kata keberagaman yang ada di antara kita. Kesetaraan dan strategi di dalam melakukan sosialisasi pemilu merupakan unsur yang sangat penting.
Sedangkan salah satu Direktur Jenderal dari KPU India, Akhsay Rout, mengatakan ada empat area yang masih perlu ditingkatkan yaitu, pemilih pemula, gender, turis dan urban, serta orang-orang yang memiliki situasi sulit. Ini tentu bisa menjadi fokus dan perhatian juga, karena potensi ini terjadi di dalam persoalan sosialisasi pemilu di Indonesia. Kemudian kampus juga perlu dimaksimalkan, Karena pihak kampus bisa menjadi agen yang baik dan bisa menyampaikan informasi secara seimbang dan objektif. Manajemen dan struktur, serta kerangka kerja bagaimana penyelenggaraan pemilu itu menjadi sangat penting. Hal ini dipastikan akan sangat berpengaruh pada tingkat partisipasi pemilih.
Berdasarkan pemaparan tersebut yang paling penting adalah peran KPU dalam melakukan pendidikan pemilih ditujukan untuk memfasilitasi pemilih dalam memberikan suara secara mudah, aman, dan tepat. Kegiatan-kegiatan tersebut mestinya dilakukan dengan melalui perencanaan yang cukup matang. Perencanaan sosialisasi pemilu tersebut dilakukan melalui tiga fase yakni (1) Pengenalan, (2) Pemantapan, dan (3) Penentuan. Mengacu pada tiga fase tersebut maka kegiatan sosialisasi pemilu akan menjadi siklus yang berkelanjutan, dan akhirnya menghasilkan penguatan dan pemahaman tentang kepemiluan di masyarakat secara terus menerus. Sosialisasi pemilu tidak bisa dianggap sebagai kegiatan temporer belaka, tetapi sama pentingnya dengan tahapan penyelenggaraan pemilu lainnya. Sehingga sangat mendesak bagi KPU khususnya untuk menyiapkan dengan serius strategi sosialisasi pemilu yang berkelanjutan dan capaian yang terukur pada setiap kegiatannya.


D. Penggunaan Media Sosial dalam Pemilu

Aktifitas penggunaan media sosial dalam pemilu cukup beragam diperankan oleh kelompok masyarakat sipil. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mendorong tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilu. Seperti yang dilakukan oleh Umar Idris dengan komunitas AJI Jakarta. AJI sebagai komunitas wartawan menyiapkan satu aplikasi yang memudahkan dalam melakukan pemantauan pemilu. AJI Jakarta di dalam penyelenggaraan pemilu kali ini, membuat suatu alat pemantauan dalam bentuk aplikasi yang bernama Matamassa. Aplikasi ini akan dimanfaatkan sebagai alat pantau bagi masyarakat dalam melakukan laporan dugaan pelanggaran pemilu. Laporan berbasis online ini, akan diverifikasi sesuai dengan syarat formil suatu laporan pelanggaran. Jika laporan pelanggaran tersebut sudah diverifikasi, barulah akan di publikasikan di web Matamassa. Tindak lanjut dari laporan pelanggaran ini juga sudah dirancang untuk terhubung dengan web Bawaslu, agar setiap laporan terverifikasi bisa
langsung terkoneksi dengan Bawaslu, agar bisa segera ditindaklanjuti. Aplikasi ini sesungguhnya bisa digunakan oleh KPU dalam menyebarkan informasi pemilu atau untuk melakukan pengecekan apakah pemilih telah terdaftar atau belum.
Alvin Nikola, dari Celup Kelingking, sepakat dengan pernyataan bahwa masyarakat sipil punya kekuatan yang besar untuk melakukan perubahan. Gerakan dari masyarakat sipil, tentu harus sesuai dengan minat dan segmen dari masing-masing komunitas. Hasil trend yang dimiliki oleh Celup Kelingking, bahwa mempunyai gadget dan media sosial itu adalah sesuatu yang penting, khusus untuk anak muda. Anak muda harus peduli terhadap politik. Ini disebabkan oleh politik sangat dekat dengan kahidupan. Gerakan Celup Kelingking juga akan melibatkan para simpatisannya untuk terlibat aktif di dalam aktivitas Celup Kelingking. Ada tiga media kanal untuk aktivitas. Facebook untuk menciptakan branding, twitter sebagai tempat untuk berinteraksi, dan you tube akan digunakan untuk berbagi ide dan gagasan.
Usep Hasan, Rumah Pemilu merupakan gerakan yang berupaya untuk meningkatkan partisipasi pemilih di dalam pemilu. Gerakan media sosial pemilu ini juga terinspirasi dari gerakan antikorupsi. Gerakan antikorupsi yang sangat ramai di media sosial, namun sepi di aksi nyata. Kekhawatiran ini juga terjadi pada hal yang sama pada isu pemilu. Gerakan pemilu ramai di media sosial, tetapi sepi di aksi nyata, terutama pada tingkat partisipasi pemilih. Rumah Pemilu mencoba mempositifkan pemberitaan tentang pemilu, karena elemen pemilu dinilai buruk oleh masyarakat. Pada awalnya, yang banyak mengikuti Rumah Pemilu adalah penyelenggara pemilu. Namun karena jumlah penyelenggara pemilu tidak bertambah, oleh sebab itu, Rumah Pemilu mengembangkan jaringan ke CSO dan komunitas yang lain.
Jose Rizal - Politica Wave, pertanyaan awal apakah sosial media sudah memberikan efek di masyarakat Indonesia. Memang belum semua masyarakat sudah menggunakan sosial media, tetapi tolak ukur kita tetap digunakan dari jumlah pengguna sosial media saja. Salah satu kajian yang pernah dilakukan oleh Politica Wave adalah pada pelaksanaan pilkada DKI, bahwa kekuatan sosial media sangat berpengaruh pada hasil akhir suatu pemilu. Membuktikannya secara akademik juga sulit, tetapi data faktual mengatakan sosial media berpengaruh pada pemenang pemilu. Dari segi jumlah, pengguna sosial media mayoritas adalah anak muda. Artinya, anak muda sudah mulai peduli terhadap isu pemilu. Kemudian efek lain adalah, sosial media juga berpengaruh untuk menembus birokrasi. Karena banyak para pemimpin terlibat aktif di media sosial. Pengguna sosial media juga mayoritas adalah orang-orang yang teredukasi dan terbiasa dalam beragumentasi.
John Muhammad, Public Virtue Institute, teknologi dan politik mempunyai hubungan yang sangat kuat. Pada zaman radio, kekuatan politik yang berasal dari orator politik, bisa berkuasa karena pengaruh radio. Sekarang adalah zaman internet. Internet adalah medium. Jika internet ini tidak bisa dikuasai oleh citizen, maka akan dikuasai oleh orang-orang jahat. Semua orang bisa memanfaatkan media sosial ini.
Sebelum semua menjadi buruk, masyarakat sipil harus masuk ke dalam hal ini. Media sosial adalah adalah sarana interaksi langsung. Tidak ada rekayasa disini. Oleh sebab itu perlu penyesuaian keseimbangan dalam interaksi. Namun lebih dari itu, gaya berinteraksi di dalam media sosial haruslah citra nyata dari mereka yang berkomunikasi di dalam media sosial. Tetapi semua dari kekuatan media sosial seperti change.org, harus ada impact politik yang harus dilakukan. Karena jika terus menerus hanya pada media sosial, tidak akan mendapatkan impact apa-apa. Seharusnya ada panduan pemilih di dalam bentuk digital. Ini menjadi penting juga berefek pada partisipasi dan pendidikan pemilih. Public Virtue Institute punya gagasan untuk membuat suatu meteran politik. Sederhananya, ini akan memberikan sentiment kepada para caleg, dan membuka ruang untuk berkomunikasi langsung antara caleg dan pemilih. Meteran politik ini juga akan menunjukkan apakah dari seorang caleg layak untuk dipilih atau tidak. Misalnya, keterbukaan informasi dari para caleg, dan adanya ruang interaksi dengan caleg tersebut.
Ahmad Suwandi, ILAB adalah lembaga yang konsern pada pengguna internet agar murah, netral dan akses untuk siapa saja. ILAB mengatakan teknologi baru bukan substitusi dari teknologi sebelumnya. Misalnya TV bukan untuk mematikan radio. Teknologi yang baru bukanlah penyelesai dari persoalan kehidupan. Sebaran internet tidak merata. Pengguna internet di Indonesia adalah digital natif. Mayoritas adalah mereka yang ketika lahir sudah mengenal internet. Hal yang banyak diperbincangkan di internet adalah apa saja yang dilihat sehari-hari.
Kebanyakan informasi pemilu kalah dengan percakapan dan informasi yang hanya dilihat per hari oleh para pengguna media sosial. Jika ingin berkampanye di media sosial punya kecendrungan yang berbeda-beda. Di Jawa misalnya, lebih 75% anak mudanya adalah pengguna internet. Dibandingkan dengan derah diluar Jawa, di Sumatera misalnya, pengguna internet sangat jauh dibawah, karena di sumatera kebanyakan anak muda masih menggunakan sms.
Akshay Rout, KPU India, sosial media itu adalah sebuah pilihan, bagaimana kita menggunakannya sebagai alat dalam pemilihan umum. Di India juga semakin banyak masyarakat yang menggunakan sosial media. Kita ingin lihat bagaimana konektifitas dari internet dalam peningkatan partisipasi memilih dari anak muda. Hal ini dapat menjadi suatu ruang dimana KPU dapat terlibat. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah bagaimana melibatkan para pemilih muda. Tadi juga mengatakan agar sosial media juga membatasi bagaimana untuk menghindari dari kecurangan di dalam pemilu. Siapapun bisa memanfaatkan sosial media. Dalam hal ini, di India KPU fokus pada kandidat yang sudah menggunakan sosial media. Kami tidak mengatur di sosial media di India. Kampanye lewat sosial media masih menjadi sesuatu yang bebas dari India. KPU India juga memperkenalkan bagaimana sertifikasi di dalam penggunaan media sosial, juga bekerja sama dengan FB, Twitter, dll. KPU tidak bisa menghapus secara seketika (real time). KPU dan penyelenggara juga bisa memanfaatkan ruang ini dalam
rangka melakukan sosialisasi pemilu. Intinya adalah jika dikaitkan dengan pemilu, bagaimana pengguna sosial media ini bisa memberikan peningkatan terhadap tingkat partisipasi pemilih.
–Cate Thompson - AEC, sosial media sangat cocok dengan suatu evolusi yang sering disebut Darwin. Mungkin kita akan terus berubah sepanjang jalan terkait dengan sosial media. Ide yang disampaikan adalah ide-ide yang sangat bagus, dan jika bisa dikonsolidasikan akan menjadi suatu yang sangat bagus. Ada beberapa ide yang patut dipertimbangkan. Antara lain adalah matamassa. Ini adalah suatu potret bagaimana penggunaan dilakukan dengan positif dan sangat baik. Akan selalu ada cara lain dalam menggunakan sosial media.
E. Kesimpulan dan Rekomendasi

Berdasarkan pembahasan di atas maka bisa diambil beberapa kesimpulan menjawab pertanyaan yang telah diajukan yakni sebagai berikut:
1. Ada dua penyebab yang menyebabkan rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilu. Pertama faktor politik yakni terkait dengan kinerja aktor-aktor produk pemilu seperti eksekutif dan legislatif. Apakah aktor-aktor ini mampu memenuhi janji politik atau kebutuhan masyarakat dengan menghadirkan kebijakan yang pro publik atau tidak. Jika tidak mampu memenuhinya maka akan menimbulkan apatisme masyarakat terhadap pemilu. Kedua, faktor teknis yakni terkait dengan penyelenggaraan pemilu. Berdasarkan hal itu, tidak semua persoalan partisipasi pemilih dibebankan dan menjadi tanggungjawab penyelenggara pemilu. Oleh karenanya ini berkolerasi terhadap strategi pendidikan pemilih oleh penyelenggara yakni dalam rangka memudahkan pemilih menggunakan hak pilihnya.
2. Strategi pendidikan pemilih harus memperhatikan beberapa kelompok rentan seperti penyandang disabilitas, kelompok pemilih pemula/muda, dan perempuan. Namun lebih penting lagi jika KPU Pusat memiliki strategi pendidikan pemilih yang bisa diintegrasikan sebagai satu strategi nasional yang akan dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu tingkat bawah.
3. Kehadiran media sosial merupakan peluang baik bagi penyelenggara pemilu dalam melakukan pendidikan pemilih dan penyampaian informasi pemilu. Media sosial bisa menjadi instrumen baik untuk melengkapi strategi pendidikan dan penyampaian informasi pemilih yang sekarang sedang berjalan.

Berdasarkan bahasan dan kesimpulan tersebut maka ada beberapa rekomendasi baik untuk kebijakan jangka panjang maupun jangka pendek sebagai berikut:
Jangka Panjang:
1. KPU mesti memiliki strategi dalam melakukan pendidikan pemilih yakni melalui tiga fase yakni Pengenalan, Pemantapan, dan Penentuan. Strategi pengenalan


bertujuan untuk memberikan pengetahuan tentang aspek kepemiluan. Sedangkan pemantapan bertujuan untuk melakukan penguatan pengetahuan kepemiluan dengan mlibatkan jejaring dan komunitas, terkahir monitoring dan evaluasi serta dampak sosialisasi pemilu.
2. Strategi pendidikan pemilih mestinya disusun oleh KPU Pusat dengan partisipasi penyelenggara pemilu di bawahnya. Strategi yang sudah tersusun ini kemudian dijalankan secara serentak dan bersama-sama oleh seluruh struktur penyelenggara pemilu dibawahnya sehingga inovasi penyampaian informasi kepada pemilih bisa diterapkan secara merata oleh seluruh KPU propinsi dan kabupaten/kota.

Jangka Menengah/Pendek:
1. Pelibatan komunitas diperlukan dalam melakukan pendidikan pemilih dan penyampaian informasi pemilu. Pendekatan yang bisa dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai perspektif seperti disabilitas, perempuan dan pemilih muda.
2. Instrumen sosialisasi pemilu yang diproduksi oleh KPU hendaknya melibatkan atau menyertakan perspektif disabilitas, perempuan dan pemilih muda.
3. Mengingat pemilu sudah dekat, KPU bisa melakukan sosialisasi pemilu dengan melibatkan sekolah dan universitas sehingga akan semakin banyak orang yang akan melakukan sosialisasi dan menyebarkan informasi.
4. Penggunaan media sosial hendaknya segera dikelola secara massif sehingga akan menunjang dan memperluas upaya penyebaran informasi. Mengingat penggunaan media sosial memiliki karakteristik yang jauh berbeda maka pelibatan komunitas yang aktif dalam penggunaan media sosial bisa dilakukan.


Observasi dan Penelitian Pelaksanaan Pemilu di Indonesia


Laporan Observasi dan Penelitian pelaksanaan pemilu
PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF
                                                              


























UNIVERSITAS GUNADARMA
2014



KATA PENGANTAR

Rasa syukur kita panjatkan terhadap tuhan Yang Maha Esa, sehingga laporan hasil penelitian/ observasi Pelaksanaan Pemilu tanggal 09 April 2014 dapat terselsaikan dengan baik. Laporan ini dibuat sebagaimana untuk tugas mata kuliah softskill Pendidikan Kewarganegaraan dengan kegiatan observasi di TPS Jakarta Timur, Kelurahan Pisangan Timur, Kecamatan Pulogadung. Dalam hal ini, Penulis menyadari laporan observasi ini tidak dapat dibuat dan terselesaikan dengan baik, dan oleh karena itu kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkan agar kedepannya penulisan laporan dapat tersusun dan terselesaikan dengan lebih baik lagi. Penulis juga mengucapkan terima kasih banyak kepada Panitia Pemilu Pisangan Lama 3 yang telah membantu kegiatan observasi ini. Semoga laporan observasi ini dapat memberi manfaat terhadap pembacanya. Jakarta, 26 April 2014

 
BAB I PENDAHULUAN

Pemilu dilaksanakan setiap 5 tahun sekali sebagai sarana untuk memilih calon wakil rakyat maupun calon presiden. Pemilihan Umum merupakan sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat sebagai wujud keikutsertaan seluruh rakyat Indonesia dalam penyelenggaraan Pemerintahan Negara berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945.Indonesia merupakan negara demokrasi, dimana pemerintahan berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pelaksanaan pemerintahan oleh rakyat ini merupakan  bentuk dari demokrasi yang prosedural yang artinya akan terjadi persaingan partai politik dan atau suatu usaha meyakinkan rakyat oleh para calon pemimpin politik agar memilih mereka untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan, baik legislatif atau eksekutif di daerah maaupun kota. Dalam menunjang pelaksanaan demokrasi yang prosedural tadi maka diadakanlah pemilihan umum (pemilu) untuk memilih calon calon pemimpin negara yang baik dan dapat membawa negara kearah yang lebih baik. Pada teorinya pemilu digunakan rakyat untuk memilih calon pemimpin yang  benar benar sesuai dengan hati nuraninya, untuk memilih pemimpin yang menurut mereka mampu mewakili aspirasi rakyat. Namun pada praktiknya justru rakyat dibuat kebingungan untuk menentukan pilihannya, salah satunya dikarenakan adanya  pelanggaran yang dilakukan calon legislatif, seperti memberikan uang suap yang mereka sebut dengan uang sumbangan yang bertujuan untuk menarik hati para rakyat untuk memilihnya sebagai calon legislatif, atau yang dikenal dengan istilah money politic. Sehingga menimbulkan kemungkinan bahwa suara yang dihasilkan pada pemilu bukan  benar benar suara rakyat. Angka golput yang semakin tinggi dan tingkat antusiame rakyat  pada pemilu yang terkesan acuh tak acuh menimbulkan berbagai macam pertanyaan.


BAB II  SISTEM PEMILIHAN UMUM 2014

1. Pemilihan Umum Anggota DPR, DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten 
1.1  Pencalonan
Seorang bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a.       Warga Negara Indonesia yang berumur 21 (dua puluh satu tahun atau lebih).
  1. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
  2. Yang dimaksud bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam arti taat menjalankan kewajiban agamanya.
  3. Berdomisili di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  4. Cakap berbicara, membaca dan menulis dalam Bahasa Indonesia.
  5. Persyaratan ini tidak bermaksud untuk membatasi hak politik warga negara penyandang cacat yang memiliki kemampuan untuk melakukan tugasnya sebagai anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
  6. Berpendidikan paling rendah Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menegah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan, atau bentuk lain yang sederajat.
  7. Setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945.
  8. Yang dimaksud setia dalam hal ini dibuktikan dengan surat pernyataan dari calon anggota DPR dan DPRD yang bersangkutan dengan diketahui oleh Pimpinan Partai Politik sesuai tingkatannya.
  9. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan  pidana penjara lima tahun atau lebih.
  10. Sehat jasmani dan Rohani
  11. Sehat jasmani dan rohani dibuktikan dengan surat keterangan dari tim penguji kesehatan yang ditunjuk oleh KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.
  12. Terdaftar sebagai pemilih.
  13.  Bersedia bekerja sepenuh waktu.
  14. Mengundurkan diri sebagai Pegawai Negeri Sipil, anggota Tentara Nasional, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada BUMN/BUMD, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri dan tidak dapat ditarik kembali.
  15. Bersedia untuk tidak berpraktik sebagai Akuntan Publik, Advokat/Pengacara, Notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara, serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPR. DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, sesuai peraturan perundang-undangan.
  16. Menjadi anggota Partai Politik peserta Pemilu.
  17. Dicalonkan hanya di 1 (satu) Lembaga Perwakilan.
  18. Dicalonkan hanya di 1 (satu) Daerah Pemilihan.

Untuk membuktikan persyaratan tersebut di atas, seorang bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota memerlukan kelengkapan administrasi yang terdiri dari :
a.       Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan atau Akte Kelahiran Warga Negara Indonesia.
b.      Bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah, sajadah, sertifikat, atau surat keterangan lain yang dilegalisasi oleh satuan pendidikan atau program pendidikan menengah.
c.       Surat keterangan tidak tersangkut perkara pidana dari Kepolisian Negara R.I setempat.
d.      Surat keterangan berbadan sehat jasmani dan rohani.
e.       Surat tanda bukti sudah terdaftar sebagai pemilih.
f.       Surat pernyataan tentang kesediaan untuk bekerja sepenuh waktu yang ditandatangani di atas kertas bermaterai cukup.
g.      Surat pernyataan kesediaan tidak berpraktik sebagai Akuntan Publik, Konsultan, Advokat/Pengacara, Notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa, yang berhubungan dengan keuangan negara, serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, yang ditandatangani di atas kertas bermaterai cukup.
h.      Surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali sebagai Pegawai Negeri Sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian republik Indonesia, pegawai pada BUMN/BUMD, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara.
i.        Kartu Tanda Anggota Partai Politik peserta Pemilu.
j.        Surat pernyataan tentang kesediaan hanya dicalonkan oleh 1 (satu) Partai Politik untuk 1 (satu) Lembaga Perwakilan yang ditandatangani di atas kertas bermaterai cukup.
k.      Surat pernyataan tentang kesediaan hanya dicalonkan oleh 1 (satu) Daerah Pemilihan, yang ditandatangani diatas kertas bermaterai cukup.

Tata Cara Pengajuan Bakal Calon dan Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota
Proses penetapan bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, dimulai seleksi internal Partai Politik Pemilu. Seleksi ini dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal Partai Politik yang bersangkutan. Berdasarkan hasil seleksi, Partai Politik peserta Pemilu yang bersangkutan menyusun daftar bakal calon. Daftar bakal calon anggota DPR ditetapkan oleh Pengurus Pusat Partai Politik yang bersangkutan, sedangkan daftar bakal calon anggota DPRD Provinsi ditetapkan oleh Pengurus Partai Politik peserta Pemilu tingkat Provinsi, dan daftar bakal calon anggota DPRD Kabupaten/Kota, ditetapkan oleh Pengurus Partai Politik peserta Pemili tingkat Kabupaten/Kota.
Dalam daftar bakal calon tersebut, memuat paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) perwakilan perempuan. Setiap 3 (tiga) orang bakal calon, terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang calon perempuan. Yang dimaksud Pengurus Pusat Partai Politik, adalah Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Politik atau nama lain, sedangkan yang dimaksud Pengurus Partai Politik tingkat provinsi, adalah Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Politik tingkat provinsi atau nama lain, dan yang dimaksud dengan Pengurus Partai Politik tingkat kabupaten/kota, adalah Ketua Dewan Pimpinan Partai Politik tingkat kabupaten/kota, atau nama lain. Daftar bakal calon dimaksud , dapat memuat sebanyak-banyaknya 120% (seratus dua puluh perseratus) dari jumlah kursi setiap Daerah Pemilihan.

Daftar bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dimaksud diajukan kepada:
1.    KPU untuk daftar calon anggota DPR yang ditandatangani oleh Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal atau sebutan lain.
2.    KPU Provinsi untuk daftar calon anggota DPRD Provinsi yang ditandatangani oleh Ketua dan Sekretaris atau sebutan lain.
3.    KPU Kabupaten/Kota untuk daftar bakal calon anggota DPRD Kabupaten/Kota, yang ditandatangani oleh Ketua dan Sekretaris atau sebutan lain.

Peserta pemilu ada dua macam, yakni partai politik dan perseorangan.Peserta partai politik dalam Pemilu adalah untuk memilih anggota DPR dan DPRD provinsi maupun kabupaten/kota. Sementara itu peserta perseorangan dalam Pemilu adalah untuk memilih DPD (Dewan Perwakilan Daerah)

Syarat-Syarat Peserta Pemilu Menurut UU No. 23 Th. 2003 tentang Pemilu
1. Partai Politik
Untuk dapat menjadi peserta Pemilu partai politik harus memenuhi syarat :
         diakui keberadaannya sesuai Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik,
         memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya di 2/3 (dua pertiga) dari seluruh jumlah provinsi,
         memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya di 2/3 (dua pertiga) dari jumlah kabupaten/kota di provinsi sebagaimana dimaksud dalam huruf b,
         memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau sekurang-kurangnya 1/2000 (seperduaribu) dari jumlah penduduk pada setiap kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud dalam huruf c yang dibuktikan dengan kartu tanda anggota partai politik,
         pengurus sebagaimana dimaksud dalam huruf b dan huruf c harus mempunyai kantor tetap,
         mengajukan nama dan tanda gambar partai politik kepada KPU.

1.2. Caleg Perempuan
Menurut Undang-undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif dan Undang-undang No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik (Parpol), kuota keterlibatan perempuan dalam dunia politik adalah sebesar 30 persen, terutama untuk duduk di dalam parlemen. Bahkan dalam Pasal 8 Butir d UU No. 10 tahun 2008, disebutkan penyertaan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat sebagai salah satu persyaratan parpol untuk dapat menjadi peserta pemilu. Dan Pasal 53 UU mengatakan bahwa daftar bakal calon peserta pemilu juga harus memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan.
Ada yang pro dan ada yang kontra pastinya. Namun ketetapan itu sudah ada sejak awal tahun 2004 lalu, melalui UU No 12 tahun 2003 tentang Pemilu, yang secara khusus termaktub di pasal 65 ayat 1.
Dituliskan :
Tata Cara Pencalonan  Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota
Pasal 65 (1) Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya30%. 
(2) Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon sebanyak-banyaknya 120% (seratus dua puluh persen) jumlah kursi yang ditetapkan pada setiap Daerah Pemilihan.
(3) Pengajuan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan ketentuan:  Calon anggota DPR disampaikan kepada KPU;  calon anggota DPRD Provinsi disampaikan kepada KPU Provinsi yang bersangkutan; dan  calon anggota DPRD Kabupaten/Kota disampaikan kepada KPU Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
          
1.3  Daerah Pemilihan
      Dapil I, meliputi Kecamatan PULOGADUNG (memperebutkan sebanyak 7 kursi);
      Dapil II, meliputi Kecamatan TEBET (memperebutkan 9 kursi);
      Dapil III, meliputi Kecamatan JAKARTA PUSAT (memperebutkan 11 kursi);

1.4  Surat Suara dan Tata Cara Pencoblosan
Berdasarkan Peraturan  Komisi Pemilihan Umum Nomor 05 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 26 Tahun 2013 Tentang Pemungutan Dan Penghitungan Suara Di Tempat Pemungutan Suara Dalam Pemilihan Umum Angota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/ Kota
Surat Suara untuk Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota:
1.      1 (satu) surat suara hanya dapat untuk dihitung 1 (satu) suara;
2.      Surat suara sebagaimana dimaksud pada angka 1 dinyatakan sah atau tidak sah;
3.      tanda coblos pada kolom yang memuat nomor urut, tanda gambar, dan nama Partai Politik, suaranya dinyatakan sah untuk Partai Politik;
4.      tanda coblos pada kolom yang memuat nomor urut dan nama calon anggota, suaranya dinyatakan sah untuk nama calon yang bersangkutan dari Partai Politik yang mencalonkan;
5.      tanda coblos pada kolom yang memuat nomor urut, tanda gambar dan nama Partai Politik, serta tanda coblos pada kolom yang memuat nomor urut dan nama calon dari Partai Politik yang bersangkutan, suaranya dinyatakan sah untuk nama calon yang bersangkutan dari Partai Politik yang mencalonkan;
6.      tanda coblos pada kolom yang memuat nomor urut, tanda gambar, dan nama Partai Politik, serta tanda coblos lebih dari 1 (satu) calon pada kolom yang memuat nomor urut dan nama calon dari Partai Politik yang sama, suaranya dinyatakan sah 1 (satu) suara untuk Partai Politik;
7.      tanda coblos lebih dari 1 (satu) calon pada kolom yang memuat nomor urut dan nama calon dari Partai Politik yang sama, suaranya dinyatakan sah 1 (satu) suara untuk Partai Politik;
8.      tanda coblos lebih dari 1 (satu) kali pada kolom yang memuat nomor urut, tanda gambar, dan nama Partai Politik, tanpa mencoblos salah satu calon pada kolom yang memuat nomor urut dan nama calon dari
9.      Partai Politik yang sama, suaranya dinyatakan sah 1 (satu) suara untuk Partai Politik;
10.  tanda coblos pada surat suara yang diblok warna abu-abu dibawah nomor urut dan nama calon terakhir, suaranya dinyatakan sah 1 (satu) suara untuk Partai Politik;
11.  tanda coblos tepat pada garis kolom yang memuat nomor urut, tanda gambar dan nama Partai Politik tanpa mencoblos salah satu calon pada kolom yang memuat nomor urut dan nama calon dari Partai Politik yang sama, suaranya dinyatakan sah 1 (satu) suara untuk Partai Politik;
12.  tanda coblos tepat pada garis kolom yang memuat 1 (satu) nomor urut dan nama calon suaranya dinyatakan sah untuk nama calon yang bersangkutan;
13.  tanda coblos tepat pada garis yang memisahkan antara nomor urut dan nama calon dengan nomor urut dan nama calon lain dari Partai Politik yang sama, sehingga tidak dapat dipastikan tanda coblos tersebut mengarah pada 1 (satu) nomor urut dan nama calon, suaranya dinyatakan sah 1 (satu) suara untuk Partai Politik;
14.  tanda coblos pada satu kolom yang memuat nomor urut tanpa nama calon disebabkan calon tersebut tidak lagi memenuhi syarat, dinyatakan sah 1 (satu) suara untuk Partai Politik;
15.  tanda coblos pada satu kolom yang memuat nomor urut dan nama calon atau tanpa nama calon yang disebabkan calon tersebut meninggal dunia/tidak lagi memenuhi syaratdan tanda coblos pada satu kolom nomor urut dan nama calon dari satu Partai politik, dinyatakan sah 1 (satu) suara untuk calon yang masih memenuhi syarat;
16.  tanda coblos lebih dari 1 (satu) kali pada kolom yang memuat nomor urut dan nama calon, dinyatakan sah 1 (satu) suara untuk calon yang bersangkutan;
17.  tanda coblos pada satu kolom yang memuat nomor dan nama calon dan tanda coblos pada kolom abu-abu, dinyatakan sah untuk 1 (satu) calon yang memenuhi syarat;
18.  tanda coblos pada kolom yang memuat nomor, nama dan gambar Partai Politik yang tidak mempunyai daftar calon, dinyatakan sah 1 (satu) suara untuk Partai Politik.

2. Pemilihan Umum Anggota DPD
2.1. Pencalonan
Untuk menjadi calon anggota DPD, peserta Pemilu dari perseorangan harus memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan :
         provinsi yang berpenduduk sampai dengan 1.000.000 (satu juta) orang harus didukung sekurang-kurangnya oleh 1.000 (seribu) orang pemilih,
         provinsi yang berpenduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) sampai dengan 5.000.000 (lima juta) orang harus didukung sekurang-kurangnya oleh 2.000 (dua ribu) orang pemilih,
         provinsi yang berpenduduk lebih dari 5.000.000 (lima juta) sampai dengan 10.000.000 (sepuluh juta) orang harus didukung sekurang-kurangnya oleh 3.000 (tiga ribu) orang pemilih,
         provinsi yang berpenduduk lebih dari 10.000.000 (sepuluh juta) sampai dengan 15.000.000 (lima belas juta) orang harus didukung sekurang- kurangnya oleh 4.000 (empat ribu) orang pemilih,
         provinsi yang berpenduduk lebih dari 15.000.000 (lima belas juta) orang harus didukung sekurang-kurangnya oleh 5.000 (lima ribu) orang pemilih, dengan catatan :
1.  tersebar sekurang-kurangnya di 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan,
2. dukungan sebagaimana dimaksud dibuktikan dengan tanda tangan atau cap jempol dan foto kopi Kartu Tanda Penduduk atau identitas lain yang sah,
3. seorang pendukung tidak diperbolehkan memberikan dukungan kepada lebih dari satu orang calon anggota DPD.

2.2. Surat Suara dan Tata Cara Pencoblosan
 Surat Suara sah untuk Anggota DPD:
1.      1 (satu) surat suara hanya dapat dihitung untuk 1 (satu) suara;
2.      Surat suara sebagaimana dimaksud pada angka 1 dinyatakan sah atau tidak sah;
3.      tanda coblos pada kolom 1 (satu) calon yang memuat nomor urut, nama calon dan foto calon anggota DPD, dinyatakan sah 1 (satu) suara untuk Calon Anggota DPD yang bersangkutan;
4.      tanda coblos lebih dari satu kali pada kolom 1 (satu) calon yang memuat nomor urut, nama alon dan foto calon anggota DPD, dinyatakan sah 1 (satu) suara untuk Calon Anggota DPD yang bersangkutan;
5.      tanda coblos tepat pada garis kolom 1 (satu) calon yang memuat nomor urut, nama calon dan foto calon anggota DPD, dinyatakan sah 1
6.      (satu) suara untuk Calon Anggota DPD yang bersangkutan.

BAB III PENYELENGGARA PEMILU 2014
1.  Profil Komisi Pemilihan Umum Pisangan Timur
Komisioner KPU Periode 2013-2018 beranggotakan 5 orang, yaitu:
Ketua KPU Kelurahan Pisangan Timur
a.       Divisi : Keuangan,Logistik, Perencanaan dan Badan Penyelenggara
Bagus Sugiyo  ( Ilmu Politik di Universitas Indonesia)
ANGGOTA KPU
b.      Divisi Hukum, Pengawasan, Pencalonan, dan Kampanye
Siswono Salim
c.       Divisi Pemutakhiran Data dan Daftar Pemilih, Pengembangan Organisasi SDM dan Umum Rumah Tangga
Hidayat (IAIN Walisongo)
d.      Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Hubungan Antar Lembaga
Abdul Mustofa
e.       Divisi Pemantauan, Pemungutan dan Penghitungan Suara, Data dan Informasi
Dra.Sri Sulistyaningsih (Dosen di Fakultas Dakwah IAIN Jakarta)

2.      Profil Panitia Pemilihan Kecamatan / Kelurahan Sekaran
Panitia Pemilihan Kelurahan Sekaran
Ketua : Deden Sujiatmoko
Anggota : Sekar Ningrum, Hardoyo,Sriyati, Dwi soko, Basuki

3.      Profil KPPS Kelurahan Pisangan Timur TPS 20
Ketua : Bapak Cahyono
Anggota : Hananto , Setiyono


1. Pemungutan Suara
Pemilu legislatif 9 April 2014 menjadi momentum penting bagi bangsa Indonesia untuk menentukan transisi pemerintahan secara demokratis. Oleh karena itu, penting bagi warga negara Indonesia untuk mengetahui tata cara pemberian suara di Tempat PemungutanSuara (TPS) agar suara yang Anda berikan sah dan tidak sia-sia.
Tempat pemungutan suara sudah dibuka mulai pukul 07.00 waktu setempat (selengkapnya dapat dilihat pada alur pemungutan suara). Bagi Anda yang sudah terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) atau Daftar Pemilih Khusus (DPK), Anda cukup membawa fomulir C6 yang merupakan surat pemberitahuan.
Lalu bagaimana jika formulir C6 Anda hilang dan belum dilaporkan atau Anda belum menerima formulir dimaksud? Anda hanya perlu membawa KTP/Paspor atau identitas lainnya agar petugas KPPS dapat memeriksa nama Anda dalam daftar pemilih. 
Lalu bagaimana bagi Anda yang belum terdaftar di DPT atau DPK tetapi sudah memenuhi persyaratan sebagai pemilih? Anda tetap dapat memberikan hak pilih melalui Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPK-Tb).
Untuk masuk dalam DPK-Tb, pemilih cukup mendatangi  TPS sesuai dengan alamat yang terdapat di kartu identitas. Kartu identitas yang dibawa adalah KTP, kartu keluarga, passport, atau identitas kependudukan  lain yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan pada hari pencoblosan, kemudian menunjukkan kartu identitasnya kepada petugas PPS.
Setelah masuk dalam DPK-Tb, Anda akan mendapat giliran mencoblos pada waktu satu jam sebelum TPS ditutup atau satu jam sebelum pukul 13.00 waktu setempat. Hal ini dengan catatan apabila kertas suara pada TPS tersebut mencukupi. Jika diperkirakan kertas suara kurang, maka petugas PPS akan mengarahkan Anda untuk melakukan pencoblosan di TPS lain, yang berdekatan.
Komisi Pemilihan Umum juga memberikan fasilitas kepada pemilih difabel. Untuk pemilih difabel yang ingin memberikan suara dan membawa pendamping, pendamping dipersilahkan mengisi surat pernyataan kerahasiaan di formulir C3. Sedangkan pemilih tuna netra difasilitasi dengan pemberian alat braile khusus untuk surat suara DPD. 
Di TPS 20 Kelurahan Pisangan timur pemungutan suara dimulai pada pukul 07.00 WIB dan berakhir pada pukul 13.20. menurut pemantauan kami, sebagian besar pemilih belum mengerti prosedur – prosedur pemungutan suara sehingga saat proses pemungutan suara banyak warga di TPS 20 yang masih bingung dan sedikit canggung.
2.  Penghitungan Suara
            Penghitungan suara di TPS dilakukan oleh KPPS setelah pemungutan suara berakhir, dan dimulai pada pukul 13.00 waktu setempat sampai selesai. KPPS tidak dibenarkan mengadakan penghitungan suara sebelum pukul 13.00 waktu setempat.
            Akan tetapi di TPS 20 Kelurahan Pisangan Timur penghitungan suara dimulai pukul 14.00 karena pemungutan suara dilaksanakan sampai pukul 13.20.
a. Dalam pelaksanaan penghitungan suara di TPS, Ketua KPPS dibantu oleh Anggota KPPS, melakukan kegiatan :
1)  Menyatakan pelaksanaan pemungutan suara ditutup, danpelaksanaan penghitungan suara di TPS dimulai;
2)  Membuka kotak suara dengan disaksikan oleh semua yang hadir;
3)  Mengeluarkan surat suara dari kotak suara satu demi satu dan meletakkan di meja KPPS;
4)  Menghitung jumlah surat suara dan memberitahukan jumlah tersebut kepada yang hadir serta mencatat jumlah yang diumumkan;
5)  Membuka tiap lembar surat suara, meneliti hasil pencoblosan yang terdapat pada surat suara, dan mengumumkan kepada yang hadir perolehan suara untuk setiap pasangan calon yang dicoblos;
6)  Mencatat hasil pemeriksaan yang diumumkan sebagaimana dimaksud pada huruf e dengan menggunakan formulir hasilpenghitungan suara untuk pasangan calon (Model C2-KWK.KPU) ; dan
7)  Memutuskan apabila suara yang diumumkan berbeda dengan yang disaksikan oleh yang hadir dan/atau saksi pasangan calon.
b.    Ketua KPPS dalam meneliti dan menentukan sah dan tidak sah hasil pencoblosan pada surat suara mengacu pada ketentuan tata cara mencoblos.
c.    Pemilih yang hadir pada pelaksanaan penghitungan suara di TPS, tidak dibenarkan mengganggu proses penghitungan suara.
d.    Proses penghitungan suara di TPS dapat disaksikan oleh saksi pasangan calon, pengawas pemilu lapangan, pemantau, wartawan, dan warga masyarakat sebagai pemilih.
e.    Warga masyarakat melalui saksi pasangan calon yang hadir dapat mengajukan keberatan terhadap jalannya penghitungan suara oleh KPPS apabila ternyata terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
f.     Apabila tidak terdapat saksi pasangan calon di TPS, keberatan warga masyarakat sebagai pemilih dapat disampaikan langsung kepada Ketua KPPS.
g.    Dalam hal keberatan yang diajukan oleh saksi pasangan calon dapat diterima, KPPS seketika itu juga mengadakan pembetulan.
h.    Keberatan saksi pasangan calon dicatat dengan menggunakan formulir Model C3-KWK.KPU.
i.     Apabila tidak ada keberatan, baik dari saksi pasangan calon maupun warga masyarakat, atau tidak terdapat kejadian khusus yang berhubungan dengan pemungutan suara dan penghitungan di TPS, Ketua KPPS tetap mengisi formulir Model C3-KWK.KPU dengan tulisan “NIHIL”.
j.     Keberatan yang diajukan oleh atau melalui saksi pasangan calon terhadap proses penghitungan suara di TPS tidak menghalangi proses penghitungan suara di TPS.
3. Rekapitulasi Penghitungan Suara
          Rekapitulasi Penghitungan suara di TPS 20 Kelurahan Pisangan Timur.
4. Pelanggaran Pemilu
     4.1 Jenis Pelanggaran Pra Hari Pemungutan
  1. Merintangi orang menjalankan haknya dalam memilih (Pasal 260).
  2. Memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri atau diri orang lain dalam pengisian daftar pemilih (Pasal 261).
  3. Mengancam dengan kekerasan atau menggunakan kekuasaan yang ada padanya pada saat pendaftaran pemilih (Pasal 262)
  4. Petugas PPS/PLN yang dengan sengaja tidak memperbaiki daftar pemilih (Pasal 263)
  5. Anggota KPU yang tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu/Panwaslu dalam hal pemutakhiran data pemilih yang merugikan WNI    yang memiliki hak pilih (Pasal 264)
  6. Penyuapan (Pasal 265)
  7. Mengaku sebagai orang lain (Pasal 266)
  8. Anggota KPU yang tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu/Panwaslu dalam melaksanakan verifikasi partai politik calon peserta pemilu (Pasal 267)
  9. Anggota KPU yang tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu/Panwaslu dalam melaksanakan verifikasi partai politik calon peserta pemilu dan kelengkapan administrasi bakal calon anggota legislative (Pasal 268).
  10. Melakukan kampanye luar jadwal KPU (Pasal 269)
  11. Melanggar larangan pelaksanaan kampanye pemilu (Pasal 270)
  12. Pelaksana kampanye yang melanggar (Pasal 271)
  13. Pejabat Negara yang melanggar pelaksanaan kampanye  (Pasal 272)
  14. Pelanggaran yang dilakukan anggota PNS,TNI/POLRI  dan pernagkat desa dalam pelaksanaan kampanye (Pasal 273)
  15. Melaksanakan kampanye dengan menjanjikan atau memberikan uang dan imbalan lain (Pasal 274)
  16. Anggota KPU yang melakukan tindak pidana pemilu dalam pelaksanaan kampanye pemilu (Pasal 275)
  17. Memberi atau menerima dana kampanye yang melebihi batas yang ditentukan (Pasal 276)
  18. Menerima dana kampanye dari pihak asing atau pihak yang tidak jelas identitasnya (Pasal 277)
  19. Menghalangi dan mengganggu jalannya kampanye pemilu (Pasal 278)
  20. Pelaksana kampanye yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan pemilu (Pasal 279)
  21. Pelaksana, peserta, atau petugas kampanye yang mengganggu tahapan penyelenggaraan pemilu (Pasal 280)
  22. Memberikan laporan yang tidak jelas dalam laporan dana kampanye (Pasal 281)
  23. Mengumumkan hasil survey atau jajak pendapat dalam tenang (Pasal 282).

     4.2 Jenis Pelanggaran Pada Hari Pemungutan
a.     Melakukan kampanye luar jadwal KPU (Pasal 269)
b.    Melanggar larangan pelaksanaan kampanye pemilu (Pasal 270)
c.     Pelaksana kampanye yang melanggar (Pasal 271)
d.    Pejabat Negara yang melanggar pelaksanaan kampanye  (Pasal 272)
e.     Pelanggaran yang dilakukan anggota PNS,TNI/POLRI  dan pernagkat desa dalam pelaksanaan kampanye (Pasal 273)
f.     Melaksanakan kampanye dengan menjanjikan atau memberikan uang dan imbalan lain (Pasal 274)
g.    Anggota KPU yang melakukan tindak pidana pemilu dalam pelaksanaan kampanye pemilu (Pasal 275)
h.    Memberi atau menerima dana kampanye yang melebihi batas yang ditentukan (Pasal 276)
i.      Menerima dana kampanye dari pihak asing atau pihak yang tidak jelas identitasnya (Pasal 277)
j.      Menghalangi dan mengganggu jalannya kampanye pemilu (Pasal 278)
k.    Pelaksana kampanye yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan pemilu (Pasal 279)
l.      Pelaksana, peserta, atau petugas kampanye yang mengganggu tahapan penyelenggaraan pemilu (Pasal 280)
m.   Memberikan laporan yang tidak jelas dalam laporan dana kampanye (Pasal 281)
n.    Mengumumkan hasil survey atau jajak pendapat dalam tenang (Pasal 282).

     4.3 Jenis Pelanggaran Pasca Hari Pemungutan
a.         Menyebabkan peserta pemilu mendapatkan tambahan atau berkurangnya perolehan suara (Pasal 288)
b.         Merusak atau menghilangkan hasil pemungutan suara yang sudah disegel (Pasal 293)
c.         Anggota KPU tidak menetapkan pemungutan suara ulang di TPS padahal dalam persyaratan untuk pemungutan suara ulang terpenuhi (Pasal 296)
d.        Menyebabkan rusak atau hilangnya berita acara pemungutan dan penghitungan suara yang sudah tersegel (Pasal 297)
e.         Mengubah berita acara hasil penghitungan suara dan/atau sertifikat hasil penghitungan suara (Pasal 298)
f.    Anggota KPU yang mengakibatkan hilang atau berubahnya berita acara hasil rekapitulasi penghitungan perolehan suara dan sertikat penghitungan suara (Pasal 299)
g.         Merusak, mengganggu, atau mendistorsi sistem informasi penghitungan suara hasil pemilu (Pasal 300)
h.         Ketua KPPS/KPPSLN tidak membuat dan menandatangani berita acara perolehan suara peserta pemilu (Pasal 301)
i.     KPPS/KPPSLN tidak memberikan salinan satu eksemplar berita acara pemungutan dan penghitungan suara dan sertifikat hasil penghitungan suara kepada saksi peserta pemilu,pengawas pemilu lapangan, PPS, dan PPK (Pasal 302)
j.     KPPS/KPPSLN yang tidak menjaga, mengamankan keutuhan kotak suara dan meyerahkan kotak suara tersegel, dan sertifikat hasil penghitungan suara kepada PPK (Pasal 303)
k.          Pengawas Pemilu lapangan (PPL) yang tidak mengawasi penyerahan kotak suara tersegel kepada PPK dan Panwaslu yang tidak mengawasi penyerahan kotak suara tersegel kepada KPU (Pasal 304)
l.      PPS yang tidak mengumumkan hasil penghitungan suara (Pasal 305)
m.       KPU tidak menetapkan perolehan hasil pemilu  secara nasional (Pasal 306)
n.          Melakukan penghitungan cepat dan mengumumkan hasil penhitungan cepat pada hari/tanggal pemungutan suara (Pasal 307).
o.         Melakukan penghitungan cepat yang tidak memberitahukan bahwa hasil penghitungan cepat bukan merupakan hasil resmi pemilu (Pasal 308)
p.         KPU yang tidak melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 309)
q.         Bawaslu/Panwaslu yang tidak menindaklanjuti temuan dan/atau laporan pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh KPU,PPK,PPS/PPLN, dan/atau KPPS/KPPSLN (Pasal 310)
r.     Penyelenggaran pemilu melakukan pelanggaran pidana pemilu (Pasal 311)

BAB IV PENUTUP
           
            Pemilu sudah dilaksankan pada tanggal 9 April 2014 tepatnya hari rabu. Pada pelaksanaan pemilu ini tentu berbeda dengan pelaksanaan pemilu tahun 2009. Pada tahun 2009 pemilu legislatif diikuti oleh 48 partai sedangkan pada pemilu legislatif tahun 2014 hanya diikuti oleh 15 partai yang 3 diantaranya adalah partai khusus daerah Aceh.
            Seperti pemilu tahun 2009, pada pemilu ini juga banyak masyarakat yang tidak mengikuti atau tidak memberikan hak suaranya yang sering disebut dengan GOLPUT. Ada beberapa alasan masyarakat berperilaku GOLPUT yaitu :
  • Pertama. Golput teknis, yakni mereka yang karena sebab-sebab teknis tertentu berhalangan hadir ke tempat pemungutan suara atau mereka yang keliru mencoblos sehingga suaranya dinyatakan tidak sah.
  • Kedua. Golput teknis-politis, seperti mereka yang tidak terdaftar sebagai pemilih karena kesalahan dirinya atau pihak lain (lembaga statistik, penyelenggara pemilu).
  • Ketiga. Golput politis, yakni mereka yang merasa tidak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tidak percaya bahwa pemilu akan membawa perubahan dan perbaikan.
  • Keempat. Golput ideologis, yakni mereka yang tidak percaya pada mekanisme demokrasi (liberal) dan tidak mau terlibat di dalamnya entah karena alasan fundamentalisme agama atau alasan politik-ideologi lain.
Menurut pengamatan saya, masyarakat sudah jenuh mendengar berita korupsi di Indonesia sehingga masyarakat merasa kecewa dan tidak mau memberikan suaranya. Ada juga masyarakat yang memilih caleg karena mendapat uang dari caleg tersebut. Hal ini tentu melanggar peraturan karena money politik dilarang oleh Undang – Undang.
            Saat penerimaan daftar caleg sekarang ini, seharusnya menjadi saat menutup celah bagi para bedebah. Saat diketahui adanya partai yang tidak sepenuhnya memenuhi syarat keterwakilan perempuan, adanya caleg yang tidak menyertakan seluruh persyaratan, adanya daftar caleg ganda seperti dilansir Formappi, adanya caleg yang terkait masalah hukum, dan kasus lain merupakan saat di mana seharusnya KPU menunjukkan keutamaan.
Saat ini juga merupakan saat bagi KPU mengeluarkan aturan kampanye yang menjamin keadilan, saat bagi KPU memutakhirkan daftar pemilih, dan saat dimulainya penegakan aturan, termasuk aturan yang melarang pejabat menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan pemenangan pemilu sehingga para bedebah akan tercegah.
Tulisan ini adalah peringatan dini, jangan sampai bangsa ini dua kali terperosok pada kondisi pemilu anarkistis. Kuncinya ada pada langkah dan kebijakan penyelenggara pemilu, terutama KPU. Saat-saat digelarnya sejumlah tahapan pemilu, jangan sampai menjadi saat karpet merah bagi para bedebah
            Masyarakat juga bingung karena sangat sulit mencari partai politik yang bersih. Sejumlah kasus dugaan suap dan korupsi yang melibatkan hampir semua parpol di negeri ini tidak hanya benar-benar mengecewakan publik, tetapi juga menimbulkan pertanyaan, masih adakah parpol yang bersih dan layak dipilih? Jika tidak, masih perlukah Pemilu 2014 digelar?
Pertanyaan ekstrim di atas wajar-wajar saja muncul jika dua parpol yang selama ini terdepan menepuk dada sebagai partai bersih, Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera, ternyata dirundung dugaan skandal suap dan korupsi. Belum reda keterkejutan kita atas nasib sejumlah pimpinan teras Demokrat yang ditetapkan sebagai tersangka kasus Hambalang oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, tiba-tiba publik dikagetkan oleh penangkapan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq.
Seperti ramai diwartakan, Luthfi dijadikan tersangka oleh KPK dalam kasus dugaan suap impor daging sapi yang otoritasnya berada di tangan Menteri Pertanian Suswono, kader PKS lainnya. Skandal suap dan korupsi impor daging sapi semakin ramai bukan hanya lantaran tersangka Ahmad Fathanah, sahabat sekaligus “broker” Luthfi dengan otoritas Kementerian Pertanian, diduga mengalirkan rezeki haram ke sejumlah perempuan sosialita, tetapi juga turut menyeret PKS.
Sebagai parpol yang mengusung semboyan “bersih dan peduli”, skandal suap daging sapi yang menyeret Luthfi jelas mencoreng citra bersih PKS. Terlepas dari soal bahwa skandal ini hanya melibatkan Luthfi secara personal, namun jelas mustahil bagi Luthfi mempunyai akses untuk memperoleh kuota impor daging sapi dari Menteri Pertanian jika dia bukan dalam posisi sebagai pemimpin tertinggi PKS. Dengan kata lain, citra buruk partai adalah risiko yang harus diterima setiap parpol jika petinggi parpol yang bersangkutan tersangkut kasus hukum.
Nila Setitik Kasus Demokrat dan PKS semakin membuka mata kita betapa sulitnya menemukan parpol yang benar-benar bersih dari skandal korupsi di negeri ini. Ironisnya, kasus suap dan korupsi tidak hanya dilakukan para politisi parpol berlatar belakang sekuler-nasionalis, melainkan juga partai-partai agama dan berbasis agama. Dari segi posisi terhadap kekuasaan, politisi korup bukan hanya berasal dari parpol koalisi, tetapi juga dari oposisi. Sementara dari segi klaim subyektif, hampir tidak ada perbedaan antara parpol yang mengusung haluan sebagai parpol bersih, dan parpol yang sejak awal memang tidak berani gegabah menepuk dada seperti itu.
Oleh karena itu tidak mengherankan jika tingkat kepercayaan publik terhadap parpol-parpol kita cenderung terus merosot dari waktu ke waktu. Di luar musim pemilu (dan juga pemilihan kepala daerah), publik hanya disuguhi perilaku korup para politisi parpol yang ironisnya tidak kunjung berkurang kendati intensitas pemberantasan korupsi oleh KPK, kepolisian, dan kejaksaan juga cukup meningkat. Sudah tentu tidak semua politisi berperilaku demikian, namun ibarat kata pepatah, “(karena) nila setitik maka rusaklah susu sebelanga”.
Barangkali inilah problem besar bangsa kita di balik eforia parpol dan politisi menyongsong Pemilu 2014. Pemilu adalah momentum bagi publik untuk “menghukum” parpol dan politisi yang tidak bertanggung jawab. Namun jika perilaku oportunistik dan koruptif parpol dan politisi tidak berkurang, dan sebagian besar anggota parlemen diajukan kembali sebagai calon anggota legislatif dalam pemilu mendatang, lalu siapa lagi yang harus dipilih?
Standar Etika Fakta bahwa tidak ada perbedaan mendasar antara parpol nasionalis-sekuler dan partai agama (Islam) dalam soal korupsi benar-benar mencengangkan publik. Realitas ini membongkar asumsi umum yang berlaku, seolah-olah partai Islam dan berbasis Islam memiliki standar moralitas lebih baik atau lebih “tinggi” dibandingkan partai nasionalis-sekuler. Berbagai kasus suap dan korupsi yang melibatkan hampir semua parpol selama ini justru memperlihatkan, parpol atas nama apa pun di negeri ini tidak memiliki standar etika yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan.
Konsekuensi logis dari kenyataan tersebut adalah berlangsungnya perebutan kue kesempatan untuk melakukan tindak pidana korupsi oleh para politisi hampir tanpa kecuali. Belum begitu jelas bagi kita, berapa besar bagian atau persentase yang diterima parpol dari dana-dana haram hasil suap dan korupsi ini, berapa pula yang masuk ke kantong pribadi. Yang jelas adalah, parpol dan para politisi busuk yang melakukannya saling melindungi selama tindak pidana korupsi itu tidak tercium oleh KPK dan aparat penegak hukum lainnya.
Akan tetapi begitu skandal korupsi terungkap, para petinggi parpol secara berapi-api membela parpol mereka, seolah-olah partai secara institusi tidak terkait, seakan-akan korupsi bisa berlangsung tanpa fasilitas, dukungan, infrastruktur, dan kedudukan strategis sebagai pengurus parpol. Juga, seakan-akan parpol bisa membiayai diri tanpa dana-dana haram yang dicuri dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan anggaran daerah (APBD).
Itulah sekilas potret buruk parpol dan politisi kita menjelang Pemilu 2014, yakni parpol-parpol dan para politisi yang hanya siap berkuasa namun tidak siap bertanggung jawab, apalagi berkorban bagi bangsa dan negaranya. Mereka menebar pesona dan menabur janji-janji surga demi dukungan dan mandat politik melalui pemilu, namun kemudian mencampakkan nasib rakyat dan bangsanya hanya sebagai alas kaki syahwat kekuasaan.
Barangkali disinilah urgensi reformasi perundangan-undangan pemilu dan keparlemenan kita ke depan, yakni bagaimana melembagakan mekanisme akuntabilitas yang lebih langsung antara para wakil dan konstituennya. Salah satu instrumen yang diperlukan adalah adanya mekanisme institusional bagi publik untuk menggugat para wakil yang korup dan tidak bertanggung jawab tanpa harus menunggu pemilu berikutnya. Kalau tidak, maka pemilu pada akhirnya hanya menjadi “pesta” bagi parpol dan politisi, sementara rakyat kita mencuci piringnya.
1.      Kesimpulan
Dari laporan dan pengamatan yang saya lakukan di TPS 20 Kelurahan Pisangan Timur Kec. PULOGADUNG dapat kami ambil kesimpulan sebagai berikut :
a)         Terjadi banyak pelanggaran oleh partai politik baik saat kampanye, sebelum hari pemungutan maupun pasca pemungutan suara
b)        Ada beberapa alasan masyarakat memilih golput yaitu golput teknis, golput teknis – politis, golput politis, dan golput ideologis
c)         Masyarakat sudah bosan dengan janji – janji yang diberikan oleh caleg – caleg sehingga masyarakat lebih memilih untuk bekerja daripada harus memilih datang ke TPS terdekat.
d)        Banyak caleg dan parpol yang menggunakan money politik dengan membagi – bagikan uang kepada warga agar memilih partai tersebut dan hal ini sudah Peraturan yang berlaku
2.      Rekomendasi
2.1  Rekomendasi Untuk Penyelenggara Pemilu
a) Surat suara agar sampai di TPS tepat waktu tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat agar memperkecil pelanggaran
b)    Memberikan simulasi atau penyuluhan tentang tata cara pencoblosan dan bahaya golput
c)     Menekan angka golput seminimal mungkin
2.2  Rekomendasi Untuk Pengawas Pemilu
a)        Pengawas sebaiknya lebih teliti dan lebih tegas terhadap pelanggar ketentuan pemilu sehingga tidak ada lagi yang melanggar UU pemilu dan pemilu dapat berjalan secara lancer dan terkendali
b)         Tidak menerima suap karena banyak panwas yang menerima suap dari caleg atau parpol untuk menggembungkan suara
c)        Bekerja dengan penuh tanggungjawab
2.3  Rekomendasi untuk Peserta Pemilu
a)        Sesibuk – sibuknya pemilih, diharapkan tetap memberikan suaranya dan tidak golput
b)        Diharapkan bagi semua pemilih agar tidak memilih caleg – caleg yang membagi – bagikan uang karena disamping sudah melanggar peraturan, money politik juga berpotensi sebagai alasan korupsi bagi para caleg.
c)        Diharapkan bagi pemilih yang tempat tinggalnya dekat dengan TPS agar ikut mengawasi jalannya pemungutan suara dan penghitungan suara agar tidak terjadi pelanggran
d)       Jadilah pemilih yang cerdas

Saran
Pemerintah atau partai politik seharusnya menggunakan dana kampanye untuk tidak hanya membuat aacara hiburan semata untuk masyarakat. Seharusnya  pemerintah atau partai politik lebih menekankan ke pendidikan politik ke masyarakat yang masih sangat kurang demi menunjang masyarakat yang cerdas akan politik dan tidak mudah untuk dimanfaatkan golongan tertentu.