Laman
Minggu, 20 Juli 2014
Jumat, 04 Juli 2014
Partisipasi pemilih dalam pemilu 2014
A.
Pendahuluan
Pemilu
Legislatif 2014 akan dilaksanakan dalam kurun waktu 30 hari lagi, yakni pada 9
April 2014. Pemilu legislatif ini akan memilih kurang lebih 19.700 (Sembilan
belas ribu tujuh ratus) kandidat caleg yang tersebar di 2.450 (dua ribu empat
ratus lima puluh) daerah pemilihan. Oleh karena itu, pemilu di Indonesia
dikenal sebagai salah satu pemilu terbesar di dunia yang juga melibatkan hampir
20.000 (dua puluh ribu) calon anggota legislatif (caleg), juga lebih dari 186
(seratus delapan puluh enam) juta pemiilh.
Kondisi
ini tentu menjadikan pelaksanaan pemilu tak terbayangkan rumitnya. KPU sebagai
penyelenggara pemilu akan menghadapi tantangan luar biasa untuk mengorganisir
penyelenggaraannya. Tantangan terbesarnya adalah mendorong partisipasi
masyarakat dalam penggunaan hak pilih pada 9 April 2014 nanti. Berkaca dari
pengalaman pemilu di Indonesia sejak Pemilu 1999 hingga 2009, terjadi penurunan
partisipasi pemilih cukup signifikan. Tingkat partisipasi terus menurun dari 92
persen (%) pada Pemilu 1999 menjadi 84 persen (%) di 2004, dan terus menurun
saat penyelenggaraan Pemilu 2009, yakni tinggal 71 persen (%). Secara konsisten
rata-rata penurunan dari tiga periode pemilu tersebut sebesar kurang lebih 10
persen (%). Jika trend ini diikuti maka sangat mungkin Pemilu 2014 tingkat
partisipasinya tinggal 60 persen (%). Selain menurunnya angka partisipasi pada
3 periode pemilu, jumlah suara tidak sah juga terus mengalami kenaikan dari 3.3
persen (%) pada Pemilu 1999 menjadi 9.7 persen (%) pada Pemilu 2004, dan melonjak
pada angka 14.4 persen (%) di Pemilu 2009.
Meskipun
kecenderungannya menurun, namun KPU memiliki target tinggi dalam rangka
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam Pemilu 2014, hingga 75 persen (%).
Target ini merupakan bagian dari sikap serta komitmen penyelenggara pemilu
untuk menguatkan legitimasi penyelenggaraan pemilu, meskipun hal itu dirasa
cukup berat. Mengingat hal itu, maka pertanyaannya adalah apa yang harus
dilakukan untuk mendorong tingkat partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan
Pemilu 2014?
Berdasarkan
pertanyaan itu maka ada beberapa hal yang harus dijawab yakni pertama,
apa yang menyebabkan rendahnya tingkat partisipasi pemilih dalam setiap
penyelenggaraan pemilu? kedua, bagaimana mekanisme dan metode pendidikan
pemilih yang dilakukan oleh KPU? Ketiga, bagaimana menjawab peluang
penggunaan teknologi informasi dan media sosial dalam mendorong tingkat
partisipasi pemilih. Harapannya berdasarkan pertanyaan ini muncul rekomendasi
untuk peningkatan partisipasi pemilih dalam Pemilu 2014.
Menjawab
persoalan tersebut, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
menyelenggarakan Workshop Knowledge Sharing “Mendorong Partisipasi
Pemilih dalam Pemilu 2014” bekerjasama dengan Australian Electoral
Commission (AEC) dengan mengundang KPU India, KPU Australia dan stake
holder dalam negeri seperti KPU (propinsi/kabupaten/kota), akademisi,
media, pemantau pemilu, dan
aktivis media sosial. Kegiatan yang
berlangsung sejak tanggal 19 hingga 20 Februari 2014 ini dilakukan untuk saling
berbagi ilmu dan pengalaman dimasing-masing negara dan lintas bidang dalam
mendorong partisipasi masyarakat. Melalui kegiatan ini, Indonesia bisa belajar
dari India dan Australia, begitu juga sebaliknya akan ditemukan sejumlah hal
menarik yang akan menjadi informasi baik untuk kedua negara.
B.
Problem Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu
Reformasi
telah membawa perubahan terhadap penyelenggaraan pemilu, dimana pemilu dipahami
sebagai arena persaingan terbuka antarpeserta pemilu untuk memobilisasi
dukungan suara pemilih. Akibatnya terjadi interaksi yang relatif intens antara
warga/pemilih dengan peserta pemilu, pemerintah, penyelenggara, lembaga
pengawas pemilu, dan juga pemantau. Dalam interaksi ini, pemilih berada pada
posisi yang sejajar/setara dengan elemen lainnya, jika tidak harus mengatakan
pada posisi diuntungkan. Peserta pemilu membutuhkan dukungan pemilih, begitu
juga dengan penyelenggara pemilu yang berusaha meningkatkan keterlibatan
pemilih dalam pemilu.
Ditengah-tengah
kepentingan yang begitu besar, kepentingan pemilih justru tertinggal dan hampir
terlupakan. Pemilih hanya diposisikan sebagai objek dalam pertarungan politik
antar peserta pemilu baik partai politik maupun kandidat. Begitu juga dengan
kepentingan pemilih untuk memberikan hak suara berdasarkan informasi yang
memadai, akses terbuka terhadap rekam jejak peserta pemilu, akses terbuka
terhadap informasi kepemiluan, bebas dari intimidasi dan mobilisasi yang
sesungguhnya belum terkelola secara memadai, intensif, dan berkualitas. Kondisi
inilah yang menurut Sri Budi Eko Wardhani (Dhani), menghasilkan sederetan
daftar apatisme masyarakat terhadap proses pemilu, karena kepentingan pemilih
belum terakomodir.
Luky
Djani menggunakan pendekatan yang hampir sama yakni kepentingan pemilih atau
bahasa yang digunakan adalah keuntungan pemilih dalam pemilu. Bahwa orang akan
menggunakan hak pilihnya lebih didasarkan pada keuntungan yang akan didapat
jika dia memilih. Persoalan partisipasi dan keinginan orang memilih atau tidak,
akan dipengaruhi oleh tokoh dan sosok yang akan dipilih apakah mampu
merepresentasikan atau mengakomodir kepentingan pemilih atau tidak. Sebagai
contoh program bebas pajak yang digagas oleh kandidat, tentu tidak akan menarik
bagi anak muda yang belum membayar pajak.
Artinya
ketika kepentingan tidak bisa terakomodir dalam pemilu maka keinginan pemilih
untuk berpartisipasi akan sangat rendah. Sepanjang keberadaan pemilih
diposisikan sebagai objek dalam proses demokrasi ini, maka keterlibatannya
dalam pemilu tidak cukup signifikan. Mengingat posisinya yang cukup strategis
tidak hanya menjadi objek namun pusat dari seluruh kepentingan baik partai
maupun kepentingan penyelenggara untuk meningkatkan partisipasi masyarakat.
Oleh karenanya, konteks penyelenggaraan pemilu di Indonesia dari kurun waktu
1999 hingga 2009, ada banyak hal yang berkontribusi dalam partisipasi pemilih
yakni faktor
politik dan faktor teknis yang
kesemuanya terkait dengan terakomodir atau tidaknya kepentingan pemilih.
Hal-hal
yang termasuk dalam faktor politik misalnya kinerja yang ditunjukkan oleh
partai politik, lembaga legislatif, pejabat publik, jalannya pemerintahan,
dampak kebijakan, yang semuanya dapat dirasakan, direspons, dan diamati oleh
masyarakat/pemilih. Dalam hal ini pemilu dilihat sebagai sebuah siklus dari periode
pemilihan, keterpilihan, berjalannya pemerintahan, lalu kembali lagi pada
periode pemilihan dan seterusnya dimana pemilih melakukan asesmen secara terus
menerus terhadap proses politik yang ada. Sehingga periode pemilihan (tahapan
yang memfasilitasi pemilih dalam memberikan suara) akan sangat tergantung dari
periode lainnya dalam siklus kepemiluan tersebut.
Sedangkan
faktor teknis terkait langsung dengan periode pemilihan yaitu penyelenggaraan
pemilu. Lembaga penyelenggara pemilu bertanggung jawab memfasilitasi pemilih
sehingga dapat memberikan suaranya secara mudah (akses geografis), aman
(tanpa ancaman), dan tepat (paham cara menandai surat suara). KPU
memastikan bahwa pemilih yang datang ke TPS untuk memberikan suaranya, dapat
terfasilitasi secara baik, dan menjamin bahwa suara pemilih dihitung dengan
jujur. Kombinasi dari faktor politik dan faktor teknis yang menentukan tingkat
partisipasi pemilih. Artinya tugas KPU sebagai penyelenggara pemilu adalah
memfasilitasi dan menjamin aspek teknis pemilih yang memutuskan untuk
memberikan suaranya. KPU tidak terkait dengan faktor politik yang berada di
luar wilayah kewenangannya.
Melihat
pembagian permasalahan di atas sesungguhnya ruang lingkup kewenangan KPU
terbatas pada faktor teknis penyelenggaraan. KPU tidak terkait secara langsung
dengan soal kinerja partai politik dan kondisi politik yang telah mempengaruhi
partisipasi masyarakat. Persoalan korupsi yang melibatkan anggota DPR yang
menimbulkan apatisme warga sehingga partisipasi masyarakat sangat kecil, tentu
faktor-faktor ini berada diluar tanggungjawab penyelenggara pemilu. Tuntutan
terhadap kebijakan publik yang pro terhadap kepentingan rakyat sebagai dampak
penyelenggaraan pemilu tentu lebih berkolerasi terhadap upaya partai politik
dan pejabat publik terkait untuk memberikan harapan bahwa pemilu berkolerasi
positif terhadap kondisi politik dan ekonomi.
Ruang
ini tentu berbeda dengan yang dimiliki oleh KPU sebagai penyelenggara pemilu.
Posisinya sebagai penyelenggara lebih bertanggungjawab terhadap persoalan
partisipasi masyarakat yang disebabkan oleh persoalan teknis penyelenggaraan
pemilu. Ketika pemilih tidak menggunakan hak pilihnya akibat absennya informasi
tentang mekanisme pemilihan atau hari pemungutan suara yang disampaikan oleh
KPU maka tentu menjadi tanggungjawab penyelenggara. Berdasarkan hal itu maka
menjadi tidak cukup relevan jika kemudian soal tinggi rendahnya partisipasi
pemilih hanya menjadi tanggungjawab KPU. Begitu juga dengan target tingkat
partisipasi pemilih hingga 75 persen (%).
Berdasarkan hal itu maka KPU sebagai
penyelenggara pemilu mesti mulai mengambil fokus untuk melakukan pendidikan
pemilih dalam memastikan bahwa pemilih memperoleh informasi yang memadai
terkait dengan teknis penyelenggaraan pemilu. Penyelenggara pemilu mesti
menyiapkan sistem pendidikan pemilih yang terintegrasi dengan seluruh jajaran
penyelenggara baik ditingkat pusat, propinsi, kabupaten/kota bahkan tingkatan
paling rendah sekalipun.
Sesungguhnya,
persoalan partisipasi ini juga dialami oleh India mengingat tingkat
partisipasinya dalam kurun waktu 60 tahun terakhir dibawah 60 persen (%). Oleh
karena itu, KPU India menggandeng berbagai pihak baik dari media, masyarakat
sipil dan semua pihak untuk bersama mensukseskan pemilu dan mensosialisasikan
pemilu itu sendiri. Pendekatan yang digunakan India masih sama yakni urusan
partisipasi ini tidak hanya menjadi kewajiban KPU namun juga partai politik
agar menyediakan pilihan kandidat yang berkualitas dan itu tidak merupakan
bagian dari KPU India untuk melakukan pendidikan politik. KPU hanya bertugas
memastikan administrasi, managemen dan pendaftaran kandidat, namun untuk urusan
kualitas sepenuhnya menjadi bagian lain dari partai politik dan pemangku
kepentingan lainnya.
Kondisi
ini tentu berbeda dengan yang terjadi di Australia dimana Australian
Electoral Commission (AEC) memiliki peran lebih besar dari sekedar
pendidikan pemilih. AEC juga melakukan pendidikan politik kewarganegaraan. Oleh
karena itu, AEC membedakan antara education dengan information.
Education dimaknai sebagai proses yang panjang dan berkaitan dengan pendidikan
politik (civic education), sedangkan information lebih pada upaya jangka
pendek untuk penyampaian informasi kepada pemilih terkait dengan pemilu.
Pola-pola
ini tentu berbeda antara Indonesia, India dan Australia dalam memosisikan
penyelenggara pemilu untuk melakukan pendidikan pemilih ataupun pendidikan
politik. Mungkin KPU Indonesia sejak awal tidak diberikan ruang untuk melakukan
pendidikan politik yang berarti dilakukan secara simultan tidak hanya pada
periode pemilu namun juga setelah pelaksanaan pemilu berakhir. Oleh karena itu,
pilihan kebijakan untuk mendorong partisipasi pemilih dengan melakukan
penyampaian informasi terkait dengan penyelenggaraan akan menjadi pilihan
tepat.
C.
Strategi Pendidikan Pemilih
Pendidikan
pemilih hendaknya dilakukan dengan memperhatikan berbagai perspektif yakni
dengan melibatkan kelompok disabilitas, pemilih pemula/muda, perempuan, dan
kelompok rentan lainnya. Perspektif pertama dari sisi penyandang disabilitas,
kelompok ini justru sangat ingin berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemilu
ditengah-tengah rendahnya tingkat partisipasi masyarakat. Evaluasinya, menurut
Ariani dari PPUA PENCA mengatakan bahwa instrument hukum di dalam
penyelenggaraan pemilu masih belum mengcover secara rinci untuk mengakses
penyandang disabilitas. Pemilihan umum yang non dikskriminasi mestinya mampu
memberikan akses bagi semua pihak tanpa
kecuali di dalam penyelenggaraan dan berpartisipasi di dalam pemilihan umum.
Persoalan yang sempat muncul misalnya tidak tercatatnya jenis disabilitas dalam
proses pendataan pemilih.
Terkait
dengan metode sosialisasi juga belum ramah terhadap para penyandang
disabilitas. Misalnya bahasa isyarat untuk tunarungu dan wicara, serta braile
untuk para penyandang tunanetra belum menjadi bagian dari proses sosialisasi.
KPU bisa saja memasukkan informasi tentang disabilitas dalam instrumen kampanye
yang disusun, misalnya poster-poster sebagai alat sosialisasi pemilu yang
didalamnya diikutkan atau disematkan informasi soal disabilitas. Kemudian untuk
sosialisasi dengan menggunakan TV, diperlukan adanya fasilitas bahasa isyarat.
Hal ini dimaksudkan agar seluruh media yang digunakan oleh KPU sebagai alat
sosialisasi, merupakan media yang inklusif dan akses terhadap para penyandang
disabilitas.
Perspektif
anak muda/pemilih pemula, menurut Lia Toriana dari departemen Youth Transparancy
International Indonesia (TII), hal kunci yang perlu dilihat dari pemilih muda
dan pemilih pemula adalah hal pertama apa yang cukup berkesan bagi anak muda,
termasuk apakah ikut menjadi pemilih pertama menjadi menarik bagi anak muda.
Persoalan mendasarnya adalah kenapa anak muda terkadang hanya dijadikan objek
segmentasi pemilu. Oleh karenanya perlu pendekatan lain terkait dengan metode
dan sarana komunikasi dalam pendidikan pemilih bagi kelompok muda.
Sosial
media dan internet menjadi suatu solusi baru untuk lahirnya komunitas yang
peduli terhadap isu-isu tertentu. Ini tentu bisa menjadi alat sosialisasi
pemilu. Peningkatan partisipasi anak muda tidak hanya dengan sosialisasi.
Tetapi KPU mestinya melepas sekat normatif antara penyelenggara dengan masyarakat.
Masih ada jarak di dalam sosialisasi antara penyelenggara pemilu dengan
masyarakat. Ini dimaksudkan agar pemilu bisa menjadi milik semua. Perlu ada
pemetaan kelompok komunitas yang kuat bisa bekerja di dalam mensukseskan
pemilu, yang salah satu aktivitasnya adalah sosialisasi.
Fokus
lain soal strategi pendidikan pemilih dalam perspektif perempuan. Menurut Lia
Anggi dari Koalisi Perempuan Indonesia, hal terpenting adalah bagaimana
meningkatkan partisipasi perempuan di dalam politik. Strateginya adalah
memastikan perempuan yang duduk di parlemen 30 persen dari seluruh jumlah
anggota DPR. Untuk menjawab ini, koalisi perempuan telah membuat sebuah modul
khusus untuk perempuan di dalam menyongsong Pemilu 2014. Dari hasil kajian yang
dilakukan oleh KPI, banyak perempuan yang masih asing dengan pemilu. Misalnya
untuk apa pemilu, bagaimana cara ikut pemilu, serta cara mencoblos di dalam
pemilu seperti apa.
Beberapa
mekanisme sosialisasi tersebut cukup menarik dari beragam perspektif. Namun
dari sisi penyelenggarapun juga memiliki pengalaman menarik
sebagai bentuk kreatifitas seperti yang
pernah dilakukan oleh Endun Abdul Haq sewaktu menjabat sebagai KPU Kuningan
Jawa Bawat. Ada beberapa catatan penting disampaikan dari apa yang telah
dilakukan oleh KPU Jawa Barat. Dari segi sistem, khususnya untuk pendaftaran
pemilih, KPU yakin partisipasi pemilih akan meningkat meskipun anggaran
sosialisasi yang disediakan sangat terbatas. Di Jawa Barat misalnya, dengan
adanya batasan anggaran, bisa menciptakan suatu metode sosialisasi dengan
menciptakan radio online. Kemudian KPU juga melakukan broadcast sms
kepada masyarakat. KPU melakukan diskusi terbatas dengan nama kegiatan ngopi,
“ngobrol pemilu dan demokrasi”. Kegiatan-kegiatan ini tidak dianggarkan di
dalam pos anggaran KPU.
Menurut
Endun, perlu digagas suatu program khusus semacam master plane untuk
meningkatkan partisipasi pemilih sebagai instrument khusus dari penyelenggara
pemilu. Beberapa contoh kegiatan sosialisasi yang dapat dilakukan adalah
membuat kelas pemilu, cerdas cermat pemilu, atau aktivitas lain yang
berkelanjutan yang dapat dijadikan ajang dalam pendidikan pemilih. Rancangan
untuk pendidikan pemilih harus dibuat diluar tahapan pemilu yang ada.
Pengalaman
Sahruni HR di KPU Pusat, menurutnya KPU tidak bisa hanya menjadi informan,
tetapi juga berperan sebagai pelaku pendidikan politik. Salah satu media
sosialisasi KPU adalah melalui media sosial dan elektronik. Sosialisasi dalam
bentuk lain yang dilakukan oleh KPU adalah mengejar sosialisasi di kampus-kampus
seperti program KPU goes to campus pada 2013 yang lalu. Politik anggaran
di dalam penyelenggaraan pemilu juga sangat perlu untuk diperbaiki. Kondisi
yang ada sekarang, harus diakui bahwa politik anggaran secara tidak langsung
menganggu tahapan dan penyelenggaraan pemilu.
Cate
Thompson dari AEC, kembali menyoroti perisitilah yang ada di dalam pemilu
Misalnya penggunaan kaum marginal, seharusnya bisa diganti dengan kata-kata
keberagaman yang ada di antara kita. Kesetaraan dan strategi di dalam melakukan
sosialisasi pemilu merupakan unsur yang sangat penting.
Sedangkan
salah satu Direktur Jenderal dari KPU India, Akhsay Rout, mengatakan ada empat
area yang masih perlu ditingkatkan yaitu, pemilih pemula, gender, turis dan
urban, serta orang-orang yang memiliki situasi sulit. Ini tentu bisa menjadi
fokus dan perhatian juga, karena potensi ini terjadi di dalam persoalan
sosialisasi pemilu di Indonesia. Kemudian kampus juga perlu dimaksimalkan,
Karena pihak kampus bisa menjadi agen yang baik dan bisa menyampaikan informasi
secara seimbang dan objektif. Manajemen dan struktur, serta kerangka kerja
bagaimana penyelenggaraan pemilu itu menjadi sangat penting. Hal ini dipastikan
akan sangat berpengaruh pada tingkat partisipasi pemilih.
Berdasarkan pemaparan tersebut yang paling penting
adalah peran KPU dalam melakukan pendidikan pemilih ditujukan untuk
memfasilitasi pemilih dalam memberikan suara secara mudah, aman, dan tepat.
Kegiatan-kegiatan tersebut mestinya dilakukan dengan melalui perencanaan yang
cukup matang. Perencanaan sosialisasi pemilu tersebut dilakukan melalui tiga
fase yakni (1) Pengenalan, (2) Pemantapan, dan (3) Penentuan. Mengacu pada tiga
fase tersebut maka kegiatan sosialisasi pemilu akan menjadi siklus yang
berkelanjutan, dan akhirnya menghasilkan penguatan dan pemahaman tentang
kepemiluan di masyarakat secara terus menerus. Sosialisasi pemilu tidak bisa
dianggap sebagai kegiatan temporer belaka, tetapi sama pentingnya dengan
tahapan penyelenggaraan pemilu lainnya. Sehingga sangat mendesak bagi KPU
khususnya untuk menyiapkan dengan serius strategi sosialisasi pemilu yang
berkelanjutan dan capaian yang terukur pada setiap kegiatannya.
D.
Penggunaan Media Sosial dalam Pemilu
Aktifitas
penggunaan media sosial dalam pemilu cukup beragam diperankan oleh kelompok
masyarakat sipil. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mendorong tingkat
partisipasi masyarakat dalam pemilu. Seperti yang dilakukan oleh Umar Idris
dengan komunitas AJI Jakarta. AJI sebagai komunitas wartawan menyiapkan satu
aplikasi yang memudahkan dalam melakukan pemantauan pemilu. AJI Jakarta di
dalam penyelenggaraan pemilu kali ini, membuat suatu alat pemantauan dalam
bentuk aplikasi yang bernama Matamassa. Aplikasi ini akan dimanfaatkan sebagai
alat pantau bagi masyarakat dalam melakukan laporan dugaan pelanggaran pemilu.
Laporan berbasis online ini, akan diverifikasi sesuai dengan syarat formil
suatu laporan pelanggaran. Jika laporan pelanggaran tersebut sudah
diverifikasi, barulah akan di publikasikan di web Matamassa. Tindak lanjut dari
laporan pelanggaran ini juga sudah dirancang untuk terhubung dengan web
Bawaslu, agar setiap laporan terverifikasi bisa
langsung terkoneksi dengan Bawaslu, agar
bisa segera ditindaklanjuti. Aplikasi ini sesungguhnya bisa digunakan oleh KPU
dalam menyebarkan informasi pemilu atau untuk melakukan pengecekan apakah
pemilih telah terdaftar atau belum.
Alvin
Nikola, dari Celup Kelingking, sepakat dengan pernyataan bahwa masyarakat sipil
punya kekuatan yang besar untuk melakukan perubahan. Gerakan dari masyarakat
sipil, tentu harus sesuai dengan minat dan segmen dari masing-masing komunitas.
Hasil trend yang dimiliki oleh Celup Kelingking, bahwa mempunyai gadget dan
media sosial itu adalah sesuatu yang penting, khusus untuk anak muda. Anak muda
harus peduli terhadap politik. Ini disebabkan oleh politik sangat dekat dengan
kahidupan. Gerakan Celup Kelingking juga akan melibatkan para simpatisannya
untuk terlibat aktif di dalam aktivitas Celup Kelingking. Ada tiga media kanal
untuk aktivitas. Facebook untuk menciptakan branding, twitter sebagai tempat
untuk berinteraksi, dan you tube akan digunakan untuk berbagi ide dan gagasan.
Usep
Hasan, Rumah Pemilu merupakan gerakan yang berupaya untuk meningkatkan
partisipasi pemilih di dalam pemilu. Gerakan media sosial pemilu ini juga
terinspirasi dari gerakan antikorupsi. Gerakan antikorupsi yang sangat ramai di
media sosial, namun sepi di aksi nyata. Kekhawatiran ini juga terjadi pada hal
yang sama pada isu pemilu. Gerakan pemilu ramai di media sosial, tetapi sepi di
aksi nyata, terutama pada tingkat partisipasi pemilih. Rumah Pemilu mencoba
mempositifkan pemberitaan tentang pemilu, karena elemen pemilu dinilai buruk
oleh masyarakat. Pada awalnya, yang banyak mengikuti Rumah Pemilu adalah
penyelenggara pemilu. Namun karena jumlah penyelenggara pemilu tidak bertambah,
oleh sebab itu, Rumah Pemilu mengembangkan jaringan ke CSO dan komunitas yang
lain.
Jose
Rizal - Politica Wave, pertanyaan awal apakah sosial media sudah memberikan
efek di masyarakat Indonesia. Memang belum semua masyarakat sudah menggunakan
sosial media, tetapi tolak ukur kita tetap digunakan dari jumlah pengguna
sosial media saja. Salah satu kajian yang pernah dilakukan oleh Politica Wave
adalah pada pelaksanaan pilkada DKI, bahwa kekuatan sosial media sangat
berpengaruh pada hasil akhir suatu pemilu. Membuktikannya secara akademik juga
sulit, tetapi data faktual mengatakan sosial media berpengaruh pada pemenang
pemilu. Dari segi jumlah, pengguna sosial media mayoritas adalah anak muda.
Artinya, anak muda sudah mulai peduli terhadap isu pemilu. Kemudian efek lain
adalah, sosial media juga berpengaruh untuk menembus birokrasi. Karena banyak
para pemimpin terlibat aktif di media sosial. Pengguna sosial media juga
mayoritas adalah orang-orang yang teredukasi dan terbiasa dalam beragumentasi.
John
Muhammad, Public Virtue Institute, teknologi dan politik mempunyai hubungan
yang sangat kuat. Pada zaman radio, kekuatan politik yang berasal dari orator
politik, bisa berkuasa karena pengaruh radio. Sekarang adalah zaman internet.
Internet adalah medium. Jika internet ini tidak bisa dikuasai oleh citizen,
maka akan dikuasai oleh orang-orang jahat. Semua orang bisa memanfaatkan media
sosial ini.
Sebelum semua menjadi buruk, masyarakat
sipil harus masuk ke dalam hal ini. Media sosial adalah adalah sarana interaksi
langsung. Tidak ada rekayasa disini. Oleh sebab itu perlu penyesuaian
keseimbangan dalam interaksi. Namun lebih dari itu, gaya berinteraksi di dalam
media sosial haruslah citra nyata dari mereka yang berkomunikasi di dalam media
sosial. Tetapi semua dari kekuatan media sosial seperti change.org, harus ada
impact politik yang harus dilakukan. Karena jika terus menerus hanya pada media
sosial, tidak akan mendapatkan impact apa-apa. Seharusnya ada panduan pemilih di
dalam bentuk digital. Ini menjadi penting juga berefek pada partisipasi dan
pendidikan pemilih. Public Virtue Institute punya gagasan untuk membuat suatu
meteran politik. Sederhananya, ini akan memberikan sentiment kepada para caleg,
dan membuka ruang untuk berkomunikasi langsung antara caleg dan pemilih.
Meteran politik ini juga akan menunjukkan apakah dari seorang caleg layak untuk
dipilih atau tidak. Misalnya, keterbukaan informasi dari para caleg, dan adanya
ruang interaksi dengan caleg tersebut.
Ahmad
Suwandi, ILAB adalah lembaga yang konsern pada pengguna internet agar murah,
netral dan akses untuk siapa saja. ILAB mengatakan teknologi baru bukan
substitusi dari teknologi sebelumnya. Misalnya TV bukan untuk mematikan radio.
Teknologi yang baru bukanlah penyelesai dari persoalan kehidupan. Sebaran
internet tidak merata. Pengguna internet di Indonesia adalah digital natif.
Mayoritas adalah mereka yang ketika lahir sudah mengenal internet. Hal yang
banyak diperbincangkan di internet adalah apa saja yang dilihat sehari-hari.
Kebanyakan
informasi pemilu kalah dengan percakapan dan informasi yang hanya dilihat per
hari oleh para pengguna media sosial. Jika ingin berkampanye di media sosial
punya kecendrungan yang berbeda-beda. Di Jawa misalnya, lebih 75% anak mudanya
adalah pengguna internet. Dibandingkan dengan derah diluar Jawa, di Sumatera
misalnya, pengguna internet sangat jauh dibawah, karena di sumatera kebanyakan
anak muda masih menggunakan sms.
Akshay
Rout, KPU India, sosial media itu adalah sebuah pilihan, bagaimana kita
menggunakannya sebagai alat dalam pemilihan umum. Di India juga semakin banyak
masyarakat yang menggunakan sosial media. Kita ingin lihat bagaimana
konektifitas dari internet dalam peningkatan partisipasi memilih dari anak
muda. Hal ini dapat menjadi suatu ruang dimana KPU dapat terlibat. Salah satu
upaya yang dapat dilakukan adalah bagaimana melibatkan para pemilih muda. Tadi
juga mengatakan agar sosial media juga membatasi bagaimana untuk menghindari
dari kecurangan di dalam pemilu. Siapapun bisa memanfaatkan sosial media. Dalam
hal ini, di India KPU fokus pada kandidat yang sudah menggunakan sosial media.
Kami tidak mengatur di sosial media di India. Kampanye lewat sosial media masih
menjadi sesuatu yang bebas dari India. KPU India juga memperkenalkan bagaimana
sertifikasi di dalam penggunaan media sosial, juga bekerja sama dengan FB,
Twitter, dll. KPU tidak bisa menghapus secara seketika (real time). KPU
dan penyelenggara juga bisa memanfaatkan ruang ini dalam
rangka melakukan sosialisasi pemilu.
Intinya adalah jika dikaitkan dengan pemilu, bagaimana pengguna sosial media
ini bisa memberikan peningkatan terhadap tingkat partisipasi pemilih.
–Cate
Thompson - AEC, sosial media sangat cocok dengan suatu evolusi yang sering
disebut Darwin. Mungkin kita akan terus berubah sepanjang jalan terkait dengan
sosial media. Ide yang disampaikan adalah ide-ide yang sangat bagus, dan jika
bisa dikonsolidasikan akan menjadi suatu yang sangat bagus. Ada beberapa ide
yang patut dipertimbangkan. Antara lain adalah matamassa. Ini adalah suatu
potret bagaimana penggunaan dilakukan dengan positif dan sangat baik. Akan
selalu ada cara lain dalam menggunakan sosial media.
E.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Berdasarkan
pembahasan di atas maka bisa diambil beberapa kesimpulan menjawab pertanyaan
yang telah diajukan yakni sebagai berikut:
1. Ada dua penyebab yang menyebabkan
rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilu. Pertama faktor politik
yakni terkait dengan kinerja aktor-aktor produk pemilu seperti eksekutif dan
legislatif. Apakah aktor-aktor ini mampu memenuhi janji politik atau kebutuhan
masyarakat dengan menghadirkan kebijakan yang pro publik atau tidak. Jika tidak
mampu memenuhinya maka akan menimbulkan apatisme masyarakat terhadap pemilu.
Kedua, faktor teknis yakni terkait dengan penyelenggaraan pemilu. Berdasarkan
hal itu, tidak semua persoalan partisipasi pemilih dibebankan dan menjadi
tanggungjawab penyelenggara pemilu. Oleh karenanya ini berkolerasi terhadap
strategi pendidikan pemilih oleh penyelenggara yakni dalam rangka memudahkan
pemilih menggunakan hak pilihnya.
2. Strategi pendidikan pemilih harus
memperhatikan beberapa kelompok rentan seperti penyandang disabilitas, kelompok
pemilih pemula/muda, dan perempuan. Namun lebih penting lagi jika KPU Pusat
memiliki strategi pendidikan pemilih yang bisa diintegrasikan sebagai satu
strategi nasional yang akan dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu tingkat
bawah.
3.
Kehadiran media sosial merupakan peluang baik bagi penyelenggara pemilu dalam
melakukan pendidikan pemilih dan penyampaian informasi pemilu. Media sosial
bisa menjadi instrumen baik untuk melengkapi strategi pendidikan dan
penyampaian informasi pemilih yang sekarang sedang berjalan.
Berdasarkan
bahasan dan kesimpulan tersebut maka ada beberapa rekomendasi baik untuk
kebijakan jangka panjang maupun jangka pendek sebagai berikut:
Jangka
Panjang:
1.
KPU mesti memiliki strategi dalam melakukan pendidikan pemilih yakni melalui
tiga fase yakni Pengenalan, Pemantapan, dan Penentuan. Strategi pengenalan
bertujuan untuk memberikan pengetahuan
tentang aspek kepemiluan. Sedangkan pemantapan bertujuan untuk melakukan
penguatan pengetahuan kepemiluan dengan mlibatkan jejaring dan komunitas,
terkahir monitoring dan evaluasi serta dampak sosialisasi pemilu.
2.
Strategi pendidikan pemilih mestinya disusun oleh KPU Pusat dengan partisipasi
penyelenggara pemilu di bawahnya. Strategi yang sudah tersusun ini kemudian
dijalankan secara serentak dan bersama-sama oleh seluruh struktur penyelenggara
pemilu dibawahnya sehingga inovasi penyampaian informasi kepada pemilih bisa
diterapkan secara merata oleh seluruh KPU propinsi dan kabupaten/kota.
Jangka
Menengah/Pendek:
1. Pelibatan komunitas diperlukan dalam
melakukan pendidikan pemilih dan penyampaian informasi pemilu. Pendekatan yang
bisa dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai perspektif seperti disabilitas,
perempuan dan pemilih muda.
2. Instrumen sosialisasi pemilu yang
diproduksi oleh KPU hendaknya melibatkan atau menyertakan perspektif
disabilitas, perempuan dan pemilih muda.
3. Mengingat pemilu sudah dekat, KPU
bisa melakukan sosialisasi pemilu dengan melibatkan sekolah dan universitas
sehingga akan semakin banyak orang yang akan melakukan sosialisasi dan
menyebarkan informasi.
4.
Penggunaan media sosial hendaknya segera dikelola secara massif sehingga akan
menunjang dan memperluas upaya penyebaran informasi. Mengingat penggunaan media
sosial memiliki karakteristik yang jauh berbeda maka pelibatan komunitas yang
aktif dalam penggunaan media sosial bisa dilakukan.
Observasi dan Penelitian Pelaksanaan Pemilu di Indonesia
Laporan Observasi dan Penelitian
pelaksanaan pemilu
PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF
PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF
UNIVERSITAS GUNADARMA
2014
KATA
PENGANTAR
Rasa syukur kita panjatkan terhadap
tuhan Yang Maha Esa, sehingga laporan hasil penelitian/ observasi Pelaksanaan
Pemilu tanggal 09 April 2014 dapat terselsaikan dengan baik. Laporan ini dibuat
sebagaimana untuk tugas mata kuliah softskill Pendidikan Kewarganegaraan dengan
kegiatan observasi di TPS Jakarta Timur, Kelurahan Pisangan Timur, Kecamatan
Pulogadung. Dalam hal ini, Penulis menyadari laporan observasi ini tidak dapat
dibuat dan terselesaikan dengan baik, dan oleh karena itu kritik dan saran dari
pembaca sangat diharapkan agar kedepannya penulisan laporan dapat tersusun dan
terselesaikan dengan lebih baik lagi. Penulis juga mengucapkan terima kasih
banyak kepada Panitia Pemilu Pisangan Lama 3 yang telah membantu kegiatan
observasi ini. Semoga laporan observasi ini dapat memberi manfaat terhadap
pembacanya. Jakarta, 26 April 2014
BAB I PENDAHULUAN
Pemilu dilaksanakan
setiap 5 tahun sekali sebagai sarana untuk memilih calon wakil rakyat maupun
calon presiden. Pemilihan Umum merupakan sarana untuk mewujudkan kedaulatan
rakyat sebagai wujud keikutsertaan seluruh rakyat Indonesia dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Negara berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945.Indonesia
merupakan negara demokrasi, dimana pemerintahan berasal dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat. Pelaksanaan pemerintahan oleh rakyat ini merupakan
bentuk dari demokrasi yang prosedural yang artinya akan terjadi
persaingan partai politik dan atau suatu usaha meyakinkan rakyat oleh para
calon pemimpin politik agar memilih mereka untuk menduduki jabatan dalam
pemerintahan, baik legislatif atau eksekutif di daerah maaupun kota. Dalam
menunjang pelaksanaan demokrasi yang prosedural tadi maka diadakanlah pemilihan
umum (pemilu) untuk memilih calon calon pemimpin negara yang baik dan dapat
membawa negara kearah yang lebih baik. Pada teorinya pemilu digunakan rakyat
untuk memilih calon pemimpin yang benar benar sesuai dengan hati
nuraninya, untuk memilih pemimpin yang menurut mereka mampu mewakili aspirasi
rakyat. Namun pada praktiknya justru rakyat dibuat kebingungan untuk menentukan
pilihannya, salah satunya dikarenakan adanya pelanggaran yang dilakukan
calon legislatif, seperti memberikan uang suap yang mereka sebut dengan uang
sumbangan yang bertujuan untuk menarik hati para rakyat untuk memilihnya
sebagai calon legislatif, atau yang dikenal dengan istilah money politic.
Sehingga menimbulkan kemungkinan bahwa suara yang dihasilkan pada pemilu bukan
benar benar suara rakyat. Angka golput yang semakin tinggi dan tingkat
antusiame rakyat pada pemilu yang terkesan acuh tak acuh menimbulkan
berbagai macam pertanyaan.
BAB II SISTEM PEMILIHAN UMUM 2014
1. Pemilihan Umum Anggota DPR, DPRD
Propinsi, DPRD Kabupaten
1.1 Pencalonan
Seorang bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. Warga Negara Indonesia yang berumur 21 (dua puluh satu tahun atau lebih).
- Bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
- Yang
dimaksud bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam arti taat menjalankan
kewajiban agamanya.
- Berdomisili
di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- Cakap
berbicara, membaca dan menulis dalam Bahasa Indonesia.
- Persyaratan
ini tidak bermaksud untuk membatasi hak politik warga negara penyandang
cacat yang memiliki kemampuan untuk melakukan tugasnya sebagai anggota
DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
- Berpendidikan
paling rendah Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah
Menegah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan, atau bentuk lain yang
sederajat.
- Setia
kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945.
- Yang
dimaksud setia dalam hal ini dibuktikan dengan surat pernyataan dari calon
anggota DPR dan DPRD yang bersangkutan dengan diketahui oleh Pimpinan
Partai Politik sesuai tingkatannya.
- Tidak
pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.
- Sehat
jasmani dan Rohani
- Sehat
jasmani dan rohani dibuktikan dengan surat keterangan dari tim penguji
kesehatan yang ditunjuk oleh KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.
- Terdaftar
sebagai pemilih.
- Bersedia bekerja sepenuh waktu.
- Mengundurkan
diri sebagai Pegawai Negeri Sipil, anggota Tentara Nasional, anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada BUMN/BUMD, serta badan
lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan
dengan surat pengunduran diri dan tidak dapat ditarik kembali.
- Bersedia
untuk tidak berpraktik sebagai Akuntan Publik, Advokat/Pengacara, Notaris,
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan tidak melakukan pekerjaan penyedia
barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara, serta pekerjaan
lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang,
dan hak sebagai anggota DPR. DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, sesuai
peraturan perundang-undangan.
- Menjadi
anggota Partai Politik peserta Pemilu.
- Dicalonkan
hanya di 1 (satu) Lembaga Perwakilan.
- Dicalonkan
hanya di 1 (satu) Daerah Pemilihan.
Untuk membuktikan persyaratan tersebut di atas, seorang bakal calon anggota
DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota memerlukan kelengkapan administrasi
yang terdiri dari :
a. Kartu Tanda Penduduk
(KTP) dan atau Akte Kelahiran Warga Negara Indonesia.
b. Bukti kelulusan berupa
fotokopi ijazah, sajadah, sertifikat, atau surat keterangan lain yang
dilegalisasi oleh satuan pendidikan atau program pendidikan menengah.
c. Surat keterangan tidak
tersangkut perkara pidana dari Kepolisian Negara R.I setempat.
d. Surat keterangan
berbadan sehat jasmani dan rohani.
e. Surat tanda bukti sudah
terdaftar sebagai pemilih.
f. Surat pernyataan tentang
kesediaan untuk bekerja sepenuh waktu yang ditandatangani di atas kertas
bermaterai cukup.
g. Surat pernyataan
kesediaan tidak berpraktik sebagai Akuntan Publik, Konsultan, Advokat/Pengacara,
Notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan tidak melakukan pekerjaan
penyedia barang dan jasa, yang berhubungan dengan keuangan negara, serta
pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas,
wewenang, dan hak sebagai anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota,
yang ditandatangani di atas kertas bermaterai cukup.
h. Surat pengunduran diri
yang tidak dapat ditarik kembali sebagai Pegawai Negeri Sipil, anggota Tentara
Nasional Indonesia, anggota Kepolisian republik Indonesia, pegawai pada
BUMN/BUMD, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara.
i. Kartu Tanda Anggota
Partai Politik peserta Pemilu.
j. Surat pernyataan tentang
kesediaan hanya dicalonkan oleh 1 (satu) Partai Politik untuk 1 (satu) Lembaga
Perwakilan yang ditandatangani di atas kertas bermaterai cukup.
k. Surat pernyataan tentang
kesediaan hanya dicalonkan oleh 1 (satu) Daerah Pemilihan, yang ditandatangani
diatas kertas bermaterai cukup.
Tata Cara Pengajuan Bakal Calon dan Calon Anggota
DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota
Proses penetapan bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota, dimulai seleksi internal Partai Politik Pemilu. Seleksi ini
dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal Partai
Politik yang bersangkutan. Berdasarkan hasil seleksi, Partai Politik peserta
Pemilu yang bersangkutan menyusun daftar bakal calon. Daftar bakal calon
anggota DPR ditetapkan oleh Pengurus Pusat Partai Politik yang bersangkutan,
sedangkan daftar bakal calon anggota DPRD Provinsi ditetapkan oleh Pengurus
Partai Politik peserta Pemilu tingkat Provinsi, dan daftar bakal calon anggota
DPRD Kabupaten/Kota, ditetapkan oleh Pengurus Partai Politik peserta Pemili
tingkat Kabupaten/Kota.
Dalam daftar bakal calon tersebut, memuat paling sedikit 30% (tiga puluh
perseratus) perwakilan perempuan. Setiap 3 (tiga) orang bakal calon, terdapat
sekurang-kurangnya 1 (satu) orang calon perempuan. Yang dimaksud Pengurus Pusat
Partai Politik, adalah Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Politik atau nama
lain, sedangkan yang dimaksud Pengurus Partai Politik tingkat provinsi, adalah
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Politik tingkat provinsi atau nama lain, dan
yang dimaksud dengan Pengurus Partai Politik tingkat kabupaten/kota, adalah
Ketua Dewan Pimpinan Partai Politik tingkat kabupaten/kota, atau nama lain.
Daftar bakal calon dimaksud , dapat memuat sebanyak-banyaknya 120% (seratus dua
puluh perseratus) dari jumlah kursi setiap Daerah Pemilihan.
Daftar bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota
dimaksud diajukan kepada:
1. KPU untuk daftar calon anggota DPR yang
ditandatangani oleh Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal atau sebutan lain.
2. KPU Provinsi untuk daftar calon anggota
DPRD Provinsi yang ditandatangani oleh Ketua dan Sekretaris atau sebutan lain.
3. KPU Kabupaten/Kota untuk daftar bakal
calon anggota DPRD Kabupaten/Kota, yang ditandatangani oleh Ketua dan
Sekretaris atau sebutan lain.
Peserta pemilu ada dua
macam, yakni partai politik dan perseorangan.Peserta partai politik dalam
Pemilu adalah untuk memilih anggota DPR dan DPRD provinsi maupun
kabupaten/kota. Sementara itu peserta perseorangan dalam Pemilu adalah untuk
memilih DPD (Dewan Perwakilan Daerah)
Syarat-Syarat Peserta Pemilu Menurut UU No. 23 Th. 2003 tentang Pemilu
1. Partai Politik
Untuk dapat menjadi
peserta Pemilu partai politik harus memenuhi syarat :
diakui keberadaannya sesuai Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang
Partai Politik,
memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya di 2/3 (dua pertiga) dari
seluruh jumlah provinsi,
memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya di 2/3 (dua pertiga) dari
jumlah kabupaten/kota di provinsi sebagaimana dimaksud dalam huruf b,
memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau
sekurang-kurangnya 1/2000 (seperduaribu) dari jumlah penduduk pada setiap
kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud dalam huruf c yang dibuktikan
dengan kartu tanda anggota partai politik,
pengurus sebagaimana dimaksud dalam huruf b dan huruf c harus mempunyai
kantor tetap,
mengajukan nama dan tanda gambar partai politik kepada KPU.
1.2. Caleg Perempuan
Menurut Undang-undang
No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif dan Undang-undang No. 2 tahun 2008
tentang Partai Politik (Parpol), kuota keterlibatan perempuan dalam dunia
politik adalah sebesar 30 persen, terutama untuk duduk di dalam parlemen.
Bahkan dalam Pasal 8 Butir d UU No. 10 tahun 2008, disebutkan penyertaan
sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol
tingkat pusat sebagai salah satu persyaratan parpol untuk dapat menjadi peserta
pemilu. Dan Pasal 53 UU mengatakan bahwa daftar bakal calon peserta pemilu juga
harus memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan.
Ada yang pro dan ada
yang kontra pastinya. Namun ketetapan itu sudah ada sejak awal tahun 2004 lalu,
melalui UU No 12 tahun 2003 tentang Pemilu, yang secara khusus termaktub di
pasal 65 ayat 1.
Dituliskan :
Tata Cara Pencalonan Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota
Pasal 65 (1) Setiap Partai Politik Peserta
Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan
perempuan sekurang-kurangnya30%.
(2) Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon sebanyak-banyaknya 120% (seratus dua puluh persen) jumlah kursi yang ditetapkan pada setiap Daerah Pemilihan.
(2) Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon sebanyak-banyaknya 120% (seratus dua puluh persen) jumlah kursi yang ditetapkan pada setiap Daerah Pemilihan.
(3) Pengajuan calon anggota DPR, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) dilakukan dengan ketentuan: Calon anggota DPR
disampaikan kepada KPU; calon anggota
DPRD Provinsi disampaikan kepada KPU Provinsi yang bersangkutan; dan calon anggota DPRD Kabupaten/Kota disampaikan
kepada KPU Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
1.3
Daerah Pemilihan
Dapil I, meliputi Kecamatan PULOGADUNG (memperebutkan sebanyak 7 kursi);
Dapil II, meliputi Kecamatan TEBET (memperebutkan 9 kursi);
Dapil III, meliputi Kecamatan JAKARTA PUSAT (memperebutkan 11 kursi);
1.4 Surat Suara dan Tata Cara Pencoblosan
Berdasarkan Peraturan
Komisi Pemilihan Umum Nomor 05 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 26 Tahun 2013 Tentang
Pemungutan Dan Penghitungan Suara Di Tempat Pemungutan Suara Dalam Pemilihan
Umum Angota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah Dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/
Kota
Surat Suara untuk Anggota DPR, DPRD Provinsi
dan DPRD Kabupaten/Kota:
1.
1 (satu) surat suara hanya dapat untuk dihitung 1 (satu) suara;
2. Surat suara sebagaimana
dimaksud pada angka 1 dinyatakan sah atau tidak sah;
3. tanda coblos pada kolom
yang memuat nomor urut, tanda gambar, dan nama Partai Politik, suaranya
dinyatakan sah untuk Partai Politik;
4. tanda coblos pada kolom
yang memuat nomor urut dan nama calon anggota, suaranya dinyatakan sah untuk
nama calon yang bersangkutan dari Partai Politik yang mencalonkan;
5. tanda coblos pada kolom
yang memuat nomor urut, tanda gambar dan nama Partai Politik, serta tanda
coblos pada kolom yang memuat nomor urut dan nama calon dari Partai Politik
yang bersangkutan, suaranya dinyatakan sah untuk nama calon yang bersangkutan
dari Partai Politik yang mencalonkan;
6. tanda coblos pada kolom
yang memuat nomor urut, tanda gambar, dan nama Partai Politik, serta tanda
coblos lebih dari 1 (satu) calon pada kolom yang memuat nomor urut dan nama
calon dari Partai Politik yang sama, suaranya dinyatakan sah 1 (satu) suara
untuk Partai Politik;
7. tanda coblos lebih dari
1 (satu) calon pada kolom yang memuat nomor urut dan nama calon dari Partai
Politik yang sama, suaranya dinyatakan sah 1 (satu) suara untuk Partai Politik;
8. tanda coblos lebih dari
1 (satu) kali pada kolom yang memuat nomor urut, tanda gambar, dan nama Partai
Politik, tanpa mencoblos salah satu calon pada kolom yang memuat nomor urut dan
nama calon dari
9. Partai Politik yang
sama, suaranya dinyatakan sah 1 (satu) suara untuk Partai Politik;
10. tanda coblos pada surat suara yang diblok warna
abu-abu dibawah nomor urut dan nama calon terakhir, suaranya dinyatakan sah 1
(satu) suara untuk Partai Politik;
11. tanda coblos tepat pada garis kolom yang memuat nomor
urut, tanda gambar dan nama Partai Politik tanpa mencoblos salah satu calon
pada kolom yang memuat nomor urut dan nama calon dari Partai Politik yang sama,
suaranya dinyatakan sah 1 (satu) suara untuk Partai Politik;
12. tanda coblos tepat pada garis kolom yang memuat 1
(satu) nomor urut dan nama calon suaranya dinyatakan sah untuk nama calon yang
bersangkutan;
13. tanda coblos tepat pada garis yang memisahkan antara
nomor urut dan nama calon dengan nomor urut dan nama calon lain dari Partai Politik
yang sama, sehingga tidak dapat dipastikan tanda coblos tersebut mengarah pada
1 (satu) nomor urut dan nama calon, suaranya dinyatakan sah 1 (satu) suara
untuk Partai Politik;
14. tanda coblos pada satu kolom yang memuat nomor urut
tanpa nama calon disebabkan calon tersebut tidak lagi memenuhi syarat,
dinyatakan sah 1 (satu) suara untuk Partai Politik;
15. tanda coblos pada satu kolom yang memuat nomor urut
dan nama calon atau tanpa nama calon yang disebabkan calon tersebut meninggal
dunia/tidak lagi memenuhi syaratdan tanda coblos pada satu kolom nomor urut dan
nama calon dari satu Partai politik, dinyatakan sah 1 (satu) suara untuk calon
yang masih memenuhi syarat;
16. tanda coblos lebih dari 1 (satu) kali pada kolom yang
memuat nomor urut dan nama calon, dinyatakan sah 1 (satu) suara untuk calon
yang bersangkutan;
17. tanda coblos pada satu kolom yang memuat nomor dan
nama calon dan tanda coblos pada kolom abu-abu, dinyatakan sah untuk 1 (satu)
calon yang memenuhi syarat;
18. tanda coblos pada kolom yang memuat nomor, nama dan
gambar Partai Politik yang tidak mempunyai daftar calon, dinyatakan sah 1
(satu) suara untuk Partai Politik.
2. Pemilihan Umum Anggota DPD
2.1. Pencalonan
Untuk menjadi calon
anggota DPD, peserta Pemilu dari perseorangan harus memenuhi syarat dukungan
dengan ketentuan :
provinsi yang berpenduduk sampai dengan 1.000.000 (satu juta) orang harus
didukung sekurang-kurangnya oleh 1.000 (seribu) orang pemilih,
provinsi yang berpenduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) sampai dengan
5.000.000 (lima juta) orang harus didukung sekurang-kurangnya oleh 2.000 (dua
ribu) orang pemilih,
provinsi yang berpenduduk lebih dari 5.000.000 (lima juta) sampai dengan
10.000.000 (sepuluh juta) orang harus didukung sekurang-kurangnya oleh 3.000
(tiga ribu) orang pemilih,
provinsi yang berpenduduk lebih dari 10.000.000 (sepuluh juta) sampai
dengan 15.000.000 (lima belas juta) orang harus didukung sekurang- kurangnya
oleh 4.000 (empat ribu) orang pemilih,
provinsi yang berpenduduk lebih dari 15.000.000 (lima belas juta) orang
harus didukung sekurang-kurangnya oleh 5.000 (lima ribu) orang pemilih, dengan
catatan :
1.
tersebar sekurang-kurangnya di 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah
kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan,
2. dukungan sebagaimana dimaksud
dibuktikan dengan tanda tangan atau cap jempol dan foto kopi Kartu Tanda
Penduduk atau identitas lain yang sah,
3. seorang pendukung tidak diperbolehkan
memberikan dukungan kepada lebih dari satu orang calon anggota DPD.
2.2. Surat Suara dan Tata Cara Pencoblosan
Surat Suara sah untuk Anggota DPD:
1. 1 (satu) surat suara
hanya dapat dihitung untuk 1 (satu) suara;
2. Surat suara sebagaimana
dimaksud pada angka 1 dinyatakan sah atau tidak sah;
3. tanda coblos pada kolom
1 (satu) calon yang memuat nomor urut, nama calon dan foto calon anggota DPD,
dinyatakan sah 1 (satu) suara untuk Calon Anggota DPD yang bersangkutan;
4. tanda coblos lebih dari
satu kali pada kolom 1 (satu) calon yang memuat nomor urut, nama alon dan foto
calon anggota DPD, dinyatakan sah 1 (satu) suara untuk Calon Anggota DPD yang
bersangkutan;
5. tanda coblos tepat pada
garis kolom 1 (satu) calon yang memuat nomor urut, nama calon dan foto calon
anggota DPD, dinyatakan sah 1
6. (satu) suara untuk Calon
Anggota DPD yang bersangkutan.
BAB III PENYELENGGARA PEMILU 2014
1. Profil Komisi Pemilihan Umum Pisangan Timur
Ketua KPU Kelurahan Pisangan Timur
a. Divisi :
Keuangan,Logistik, Perencanaan dan Badan Penyelenggara
Bagus Sugiyo ( Ilmu Politik di Universitas Indonesia)
ANGGOTA KPU
b.
Divisi Hukum, Pengawasan, Pencalonan, dan
Kampanye
Siswono Salim
c.
Divisi Pemutakhiran Data dan Daftar Pemilih,
Pengembangan Organisasi SDM dan Umum Rumah Tangga
Hidayat (IAIN Walisongo)
d.
Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Hubungan
Antar Lembaga
Abdul Mustofa
e.
Divisi Pemantauan, Pemungutan dan Penghitungan
Suara, Data dan Informasi
Dra.Sri Sulistyaningsih (Dosen di Fakultas Dakwah IAIN Jakarta)
2. Profil Panitia Pemilihan Kecamatan / Kelurahan Sekaran
Panitia Pemilihan
Kelurahan Sekaran
Ketua : Deden Sujiatmoko
Anggota : Sekar Ningrum,
Hardoyo,Sriyati, Dwi soko, Basuki
3. Profil KPPS Kelurahan
Pisangan Timur TPS 20
Ketua : Bapak Cahyono
1. Pemungutan Suara
Pemilu legislatif 9 April 2014 menjadi momentum
penting bagi bangsa Indonesia untuk menentukan transisi pemerintahan secara
demokratis. Oleh karena itu, penting bagi warga negara Indonesia untuk
mengetahui tata cara pemberian suara di Tempat PemungutanSuara (TPS) agar suara
yang Anda berikan sah dan tidak sia-sia.
Tempat pemungutan suara sudah dibuka mulai pukul 07.00
waktu setempat (selengkapnya dapat dilihat pada alur pemungutan suara). Bagi
Anda yang sudah terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) atau Daftar Pemilih
Khusus (DPK), Anda cukup membawa fomulir C6 yang merupakan surat pemberitahuan.
Lalu bagaimana jika formulir C6 Anda hilang dan belum
dilaporkan atau Anda belum menerima formulir dimaksud? Anda hanya perlu membawa
KTP/Paspor atau identitas lainnya agar petugas KPPS dapat memeriksa nama Anda
dalam daftar pemilih.
Lalu bagaimana bagi Anda yang belum terdaftar di DPT
atau DPK tetapi sudah memenuhi persyaratan sebagai pemilih? Anda tetap dapat
memberikan hak pilih melalui Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPK-Tb).
Untuk masuk dalam DPK-Tb, pemilih cukup
mendatangi TPS sesuai dengan alamat yang terdapat di kartu identitas.
Kartu identitas yang dibawa adalah KTP, kartu keluarga, passport, atau
identitas kependudukan lain yang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan pada hari pencoblosan, kemudian menunjukkan kartu
identitasnya kepada petugas PPS.
Setelah masuk dalam DPK-Tb, Anda akan mendapat giliran
mencoblos pada waktu satu jam sebelum TPS ditutup atau satu jam sebelum pukul
13.00 waktu setempat. Hal ini dengan catatan apabila kertas suara pada TPS
tersebut mencukupi. Jika diperkirakan kertas suara kurang, maka petugas PPS
akan mengarahkan Anda untuk melakukan pencoblosan di TPS lain, yang berdekatan.
Komisi Pemilihan Umum juga memberikan fasilitas kepada
pemilih difabel. Untuk pemilih difabel yang ingin memberikan suara dan membawa
pendamping, pendamping dipersilahkan mengisi surat pernyataan kerahasiaan di
formulir C3. Sedangkan pemilih tuna netra difasilitasi dengan pemberian alat
braile khusus untuk surat suara DPD.
Di TPS 20 Kelurahan Pisangan timur pemungutan suara dimulai pada pukul
07.00 WIB dan berakhir pada pukul 13.20. menurut pemantauan kami, sebagian
besar pemilih belum mengerti prosedur – prosedur pemungutan suara sehingga saat
proses pemungutan suara banyak warga di TPS 20 yang masih bingung dan sedikit
canggung.
2.
Penghitungan Suara
Penghitungan
suara di TPS dilakukan oleh KPPS setelah pemungutan suara berakhir, dan dimulai
pada pukul 13.00 waktu setempat sampai selesai. KPPS tidak dibenarkan
mengadakan penghitungan suara sebelum pukul 13.00 waktu setempat.
Akan
tetapi di TPS 20 Kelurahan Pisangan Timur penghitungan suara dimulai pukul
14.00 karena pemungutan suara dilaksanakan sampai pukul 13.20.
a. Dalam pelaksanaan
penghitungan suara di TPS, Ketua KPPS dibantu oleh Anggota KPPS, melakukan
kegiatan :
1) Menyatakan pelaksanaan pemungutan
suara ditutup, danpelaksanaan penghitungan suara di TPS dimulai;
2) Membuka
kotak suara dengan disaksikan oleh semua yang hadir;
3) Mengeluarkan
surat suara dari kotak suara satu demi satu dan meletakkan di meja KPPS;
4) Menghitung
jumlah surat suara dan memberitahukan jumlah tersebut kepada yang hadir serta
mencatat jumlah yang diumumkan;
5) Membuka
tiap lembar surat suara, meneliti hasil pencoblosan yang terdapat pada surat
suara, dan mengumumkan kepada yang hadir perolehan suara untuk setiap
pasangan calon yang dicoblos;
6) Mencatat
hasil pemeriksaan yang diumumkan sebagaimana dimaksud pada huruf e dengan
menggunakan formulir hasilpenghitungan suara untuk pasangan calon
(Model C2-KWK.KPU) ; dan
7) Memutuskan
apabila suara yang diumumkan berbeda dengan yang disaksikan oleh yang hadir
dan/atau saksi pasangan calon.
b. Ketua KPPS dalam meneliti dan
menentukan sah dan tidak sah hasil pencoblosan pada surat suara mengacu pada
ketentuan tata cara mencoblos.
c. Pemilih
yang hadir pada pelaksanaan penghitungan suara di TPS, tidak dibenarkan
mengganggu proses penghitungan suara.
d. Proses
penghitungan suara di TPS dapat disaksikan oleh saksi pasangan calon, pengawas
pemilu lapangan, pemantau, wartawan, dan warga masyarakat sebagai pemilih.
e. Warga
masyarakat melalui saksi pasangan calon yang hadir dapat mengajukan keberatan
terhadap jalannya penghitungan suara oleh KPPS apabila ternyata terdapat
hal-hal yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
f. Apabila
tidak terdapat saksi pasangan calon di TPS, keberatan warga masyarakat sebagai
pemilih dapat disampaikan langsung kepada Ketua KPPS.
g. Dalam
hal keberatan yang diajukan oleh saksi pasangan calon dapat diterima, KPPS
seketika itu juga mengadakan pembetulan.
h. Keberatan
saksi pasangan calon dicatat dengan menggunakan formulir Model C3-KWK.KPU.
i. Apabila
tidak ada keberatan, baik dari saksi pasangan calon maupun warga masyarakat,
atau tidak terdapat kejadian khusus yang berhubungan dengan pemungutan suara
dan penghitungan di TPS, Ketua KPPS tetap mengisi formulir Model C3-KWK.KPU
dengan tulisan “NIHIL”.
j. Keberatan
yang diajukan oleh atau melalui saksi pasangan calon terhadap proses
penghitungan suara di TPS tidak menghalangi proses penghitungan suara di TPS.
3. Rekapitulasi Penghitungan Suara
Rekapitulasi
Penghitungan suara di TPS 20 Kelurahan Pisangan Timur.
4. Pelanggaran Pemilu
4.1
Jenis Pelanggaran Pra Hari Pemungutan
- Merintangi
orang menjalankan haknya dalam memilih (Pasal 260).
- Memberikan
keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri atau diri orang lain
dalam pengisian daftar pemilih (Pasal 261).
- Mengancam
dengan kekerasan atau menggunakan kekuasaan yang ada padanya pada saat
pendaftaran pemilih (Pasal 262)
- Petugas
PPS/PLN yang dengan sengaja tidak memperbaiki daftar pemilih (Pasal 263)
- Anggota
KPU yang tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu/Panwaslu dalam hal pemutakhiran
data pemilih yang merugikan WNI yang memiliki hak pilih
(Pasal 264)
- Penyuapan
(Pasal 265)
- Mengaku
sebagai orang lain (Pasal 266)
- Anggota
KPU yang tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu/Panwaslu dalam melaksanakan
verifikasi partai politik calon peserta pemilu (Pasal 267)
- Anggota
KPU yang tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu/Panwaslu dalam melaksanakan
verifikasi partai politik calon peserta pemilu dan kelengkapan
administrasi bakal calon anggota legislative (Pasal 268).
- Melakukan
kampanye luar jadwal KPU (Pasal 269)
- Melanggar
larangan pelaksanaan kampanye pemilu (Pasal 270)
- Pelaksana
kampanye yang melanggar (Pasal 271)
- Pejabat
Negara yang melanggar pelaksanaan kampanye (Pasal 272)
- Pelanggaran
yang dilakukan anggota PNS,TNI/POLRI dan pernagkat desa dalam
pelaksanaan kampanye (Pasal 273)
- Melaksanakan
kampanye dengan menjanjikan atau memberikan uang dan imbalan lain (Pasal
274)
- Anggota
KPU yang melakukan tindak pidana pemilu dalam pelaksanaan kampanye pemilu
(Pasal 275)
- Memberi
atau menerima dana kampanye yang melebihi batas yang ditentukan (Pasal
276)
- Menerima
dana kampanye dari pihak asing atau pihak yang tidak jelas identitasnya
(Pasal 277)
- Menghalangi
dan mengganggu jalannya kampanye pemilu (Pasal 278)
- Pelaksana
kampanye yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan pemilu
(Pasal 279)
- Pelaksana,
peserta, atau petugas kampanye yang mengganggu tahapan penyelenggaraan
pemilu (Pasal 280)
- Memberikan
laporan yang tidak jelas dalam laporan dana kampanye (Pasal 281)
- Mengumumkan
hasil survey atau jajak pendapat dalam tenang (Pasal 282).
4.2 Jenis Pelanggaran Pada Hari Pemungutan
a.
Melakukan kampanye luar jadwal KPU (Pasal 269)
b. Melanggar larangan pelaksanaan kampanye pemilu (Pasal 270)
c.
Pelaksana kampanye yang melanggar (Pasal 271)
d. Pejabat Negara yang melanggar pelaksanaan kampanye (Pasal 272)
e.
Pelanggaran yang dilakukan anggota PNS,TNI/POLRI dan pernagkat desa
dalam pelaksanaan kampanye (Pasal 273)
f.
Melaksanakan kampanye dengan menjanjikan atau memberikan uang dan imbalan
lain (Pasal 274)
g. Anggota KPU yang melakukan tindak pidana pemilu dalam pelaksanaan kampanye
pemilu (Pasal 275)
h. Memberi atau menerima dana kampanye yang melebihi batas yang ditentukan
(Pasal 276)
i.
Menerima dana kampanye dari pihak asing atau pihak yang tidak jelas
identitasnya (Pasal 277)
j.
Menghalangi dan mengganggu jalannya kampanye pemilu (Pasal 278)
k. Pelaksana kampanye yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan
pemilu (Pasal 279)
l.
Pelaksana, peserta, atau petugas kampanye yang mengganggu tahapan
penyelenggaraan pemilu (Pasal 280)
m. Memberikan laporan yang tidak jelas
dalam laporan dana kampanye (Pasal 281)
n. Mengumumkan hasil survey atau jajak pendapat dalam tenang (Pasal 282).
4.3 Jenis Pelanggaran Pasca Hari Pemungutan
a. Menyebabkan peserta pemilu mendapatkan tambahan atau berkurangnya perolehan
suara (Pasal 288)
b. Merusak atau menghilangkan hasil pemungutan suara yang sudah disegel (Pasal
293)
c. Anggota KPU tidak menetapkan pemungutan suara ulang di TPS padahal dalam
persyaratan untuk pemungutan suara ulang terpenuhi (Pasal 296)
d. Menyebabkan rusak atau
hilangnya berita acara pemungutan dan penghitungan suara yang sudah tersegel
(Pasal 297)
e. Mengubah berita acara hasil penghitungan suara dan/atau sertifikat hasil
penghitungan suara (Pasal 298)
f. Anggota KPU yang mengakibatkan hilang atau
berubahnya berita acara hasil rekapitulasi penghitungan perolehan suara dan
sertikat penghitungan suara (Pasal 299)
g. Merusak, mengganggu, atau mendistorsi sistem informasi penghitungan suara
hasil pemilu (Pasal 300)
h. Ketua KPPS/KPPSLN tidak membuat dan menandatangani berita acara perolehan
suara peserta pemilu (Pasal 301)
i. KPPS/KPPSLN tidak memberikan
salinan satu eksemplar berita acara pemungutan dan penghitungan suara dan
sertifikat hasil penghitungan suara kepada saksi peserta pemilu,pengawas pemilu
lapangan, PPS, dan PPK (Pasal 302)
j. KPPS/KPPSLN yang tidak menjaga,
mengamankan keutuhan kotak suara dan meyerahkan kotak suara tersegel, dan
sertifikat hasil penghitungan suara kepada PPK (Pasal 303)
k. Pengawas Pemilu lapangan (PPL) yang tidak mengawasi penyerahan kotak
suara tersegel kepada PPK dan Panwaslu yang tidak mengawasi penyerahan kotak
suara tersegel kepada KPU (Pasal 304)
l. PPS yang tidak mengumumkan hasil
penghitungan suara (Pasal 305)
m. KPU tidak menetapkan
perolehan hasil pemilu secara nasional (Pasal 306)
n. Melakukan penghitungan cepat dan mengumumkan hasil penhitungan cepat
pada hari/tanggal pemungutan suara (Pasal 307).
o. Melakukan penghitungan cepat yang tidak memberitahukan bahwa hasil
penghitungan cepat bukan merupakan hasil resmi pemilu (Pasal 308)
p. KPU yang tidak melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap (Pasal 309)
q. Bawaslu/Panwaslu yang tidak menindaklanjuti temuan dan/atau laporan
pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh KPU,PPK,PPS/PPLN, dan/atau KPPS/KPPSLN
(Pasal 310)
r. Penyelenggaran pemilu melakukan
pelanggaran pidana pemilu (Pasal 311)
BAB IV PENUTUP
Pemilu sudah dilaksankan pada tanggal 9 April 2014 tepatnya hari rabu. Pada
pelaksanaan pemilu ini tentu berbeda dengan pelaksanaan pemilu tahun 2009. Pada
tahun 2009 pemilu legislatif diikuti oleh 48 partai sedangkan pada pemilu
legislatif tahun 2014 hanya diikuti oleh 15 partai yang 3 diantaranya adalah
partai khusus daerah Aceh.
Seperti
pemilu tahun 2009, pada pemilu ini juga banyak masyarakat yang tidak mengikuti
atau tidak memberikan hak suaranya yang sering disebut dengan GOLPUT. Ada
beberapa alasan masyarakat berperilaku GOLPUT yaitu :
- Pertama. Golput teknis, yakni mereka yang karena
sebab-sebab teknis tertentu berhalangan hadir ke tempat pemungutan suara
atau mereka yang keliru mencoblos sehingga suaranya dinyatakan tidak sah.
- Kedua. Golput teknis-politis, seperti mereka yang
tidak terdaftar sebagai pemilih karena kesalahan dirinya atau pihak lain
(lembaga statistik, penyelenggara pemilu).
- Ketiga. Golput politis, yakni mereka yang merasa
tidak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tidak percaya bahwa
pemilu akan membawa perubahan dan perbaikan.
- Keempat. Golput ideologis, yakni mereka yang
tidak percaya pada mekanisme demokrasi (liberal) dan tidak mau terlibat di
dalamnya entah karena alasan fundamentalisme agama atau alasan
politik-ideologi lain.
Menurut
pengamatan saya, masyarakat sudah jenuh mendengar berita korupsi di Indonesia
sehingga masyarakat merasa kecewa dan tidak mau memberikan suaranya. Ada juga
masyarakat yang memilih caleg karena mendapat uang dari caleg tersebut. Hal ini
tentu melanggar peraturan karena money politik dilarang oleh Undang – Undang.
Saat penerimaan
daftar caleg sekarang ini, seharusnya menjadi saat menutup celah bagi para
bedebah. Saat diketahui adanya partai yang tidak sepenuhnya memenuhi syarat
keterwakilan perempuan, adanya caleg yang tidak menyertakan seluruh
persyaratan, adanya daftar caleg ganda seperti dilansir Formappi, adanya caleg
yang terkait masalah hukum, dan kasus lain merupakan saat di mana seharusnya
KPU menunjukkan keutamaan.
Saat ini juga merupakan saat bagi KPU
mengeluarkan aturan kampanye yang menjamin keadilan, saat bagi KPU
memutakhirkan daftar pemilih, dan saat dimulainya penegakan aturan, termasuk
aturan yang melarang pejabat menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan
pemenangan pemilu sehingga para bedebah akan tercegah.
Tulisan ini adalah peringatan dini, jangan
sampai bangsa ini dua kali terperosok pada kondisi pemilu anarkistis. Kuncinya
ada pada langkah dan kebijakan penyelenggara pemilu, terutama KPU. Saat-saat
digelarnya sejumlah tahapan pemilu, jangan sampai menjadi saat karpet merah
bagi para bedebah
Masyarakat
juga bingung karena sangat sulit mencari partai politik yang bersih. Sejumlah
kasus dugaan suap dan korupsi yang melibatkan hampir semua parpol di negeri ini
tidak hanya benar-benar mengecewakan publik, tetapi juga menimbulkan
pertanyaan, masih adakah parpol yang bersih dan layak dipilih? Jika tidak,
masih perlukah Pemilu 2014 digelar?
Pertanyaan ekstrim di atas wajar-wajar saja muncul
jika dua parpol yang selama ini terdepan menepuk dada sebagai partai bersih,
Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera, ternyata dirundung dugaan
skandal suap dan korupsi. Belum reda keterkejutan kita atas nasib sejumlah
pimpinan teras Demokrat yang ditetapkan sebagai tersangka kasus Hambalang oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi, tiba-tiba publik dikagetkan oleh penangkapan
Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq.
Seperti ramai diwartakan, Luthfi
dijadikan tersangka oleh KPK dalam kasus dugaan suap impor daging sapi yang
otoritasnya berada di tangan Menteri Pertanian Suswono, kader PKS lainnya.
Skandal suap dan korupsi impor daging sapi semakin ramai bukan hanya lantaran
tersangka Ahmad Fathanah, sahabat sekaligus “broker” Luthfi dengan otoritas
Kementerian Pertanian, diduga mengalirkan rezeki haram ke sejumlah perempuan
sosialita, tetapi juga turut menyeret PKS.
Sebagai parpol yang mengusung
semboyan “bersih dan peduli”, skandal suap daging sapi yang menyeret Luthfi
jelas mencoreng citra bersih PKS. Terlepas dari soal bahwa skandal ini hanya
melibatkan Luthfi secara personal, namun jelas mustahil bagi Luthfi mempunyai
akses untuk memperoleh kuota impor daging sapi dari Menteri Pertanian jika dia
bukan dalam posisi sebagai pemimpin tertinggi PKS. Dengan kata lain, citra
buruk partai adalah risiko yang harus diterima setiap parpol jika petinggi
parpol yang bersangkutan tersangkut kasus hukum.
Nila Setitik Kasus Demokrat dan PKS
semakin membuka mata kita betapa sulitnya menemukan parpol yang benar-benar
bersih dari skandal korupsi di negeri ini. Ironisnya, kasus suap dan korupsi
tidak hanya dilakukan para politisi parpol berlatar belakang
sekuler-nasionalis, melainkan juga partai-partai agama dan berbasis agama. Dari
segi posisi terhadap kekuasaan, politisi korup bukan hanya berasal dari parpol
koalisi, tetapi juga dari oposisi. Sementara dari segi klaim subyektif, hampir
tidak ada perbedaan antara parpol yang mengusung haluan sebagai parpol bersih,
dan parpol yang sejak awal memang tidak berani gegabah menepuk dada seperti
itu.
Oleh karena itu tidak mengherankan
jika tingkat kepercayaan publik terhadap parpol-parpol kita cenderung terus
merosot dari waktu ke waktu. Di luar musim pemilu (dan juga pemilihan kepala
daerah), publik hanya disuguhi perilaku korup para politisi parpol yang
ironisnya tidak kunjung berkurang kendati intensitas pemberantasan korupsi oleh
KPK, kepolisian, dan kejaksaan juga cukup meningkat. Sudah tentu tidak semua
politisi berperilaku demikian, namun ibarat kata pepatah, “(karena) nila
setitik maka rusaklah susu sebelanga”.
Barangkali inilah problem besar
bangsa kita di balik eforia parpol dan politisi menyongsong Pemilu 2014. Pemilu
adalah momentum bagi publik untuk “menghukum” parpol dan politisi yang tidak
bertanggung jawab. Namun jika perilaku oportunistik dan koruptif parpol dan
politisi tidak berkurang, dan sebagian besar anggota parlemen diajukan kembali
sebagai calon anggota legislatif dalam pemilu mendatang, lalu siapa lagi yang
harus dipilih?
Standar Etika Fakta bahwa tidak ada perbedaan mendasar
antara parpol nasionalis-sekuler dan partai agama (Islam) dalam soal korupsi
benar-benar mencengangkan publik. Realitas ini membongkar asumsi umum yang
berlaku, seolah-olah partai Islam dan berbasis Islam memiliki standar moralitas
lebih baik atau lebih “tinggi” dibandingkan partai nasionalis-sekuler. Berbagai
kasus suap dan korupsi yang melibatkan hampir semua parpol selama ini justru
memperlihatkan, parpol atas nama apa pun di negeri ini tidak memiliki standar
etika yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan.
Konsekuensi logis dari kenyataan
tersebut adalah berlangsungnya perebutan kue kesempatan untuk melakukan tindak
pidana korupsi oleh para politisi hampir tanpa kecuali. Belum begitu jelas bagi
kita, berapa besar bagian atau persentase yang diterima parpol dari dana-dana
haram hasil suap dan korupsi ini, berapa pula yang masuk ke kantong pribadi.
Yang jelas adalah, parpol dan para politisi busuk yang melakukannya saling melindungi
selama tindak pidana korupsi itu tidak tercium oleh KPK dan aparat penegak
hukum lainnya.
Akan tetapi begitu skandal korupsi
terungkap, para petinggi parpol secara berapi-api membela parpol mereka,
seolah-olah partai secara institusi tidak terkait, seakan-akan korupsi bisa
berlangsung tanpa fasilitas, dukungan, infrastruktur, dan kedudukan strategis
sebagai pengurus parpol. Juga, seakan-akan parpol bisa membiayai diri tanpa
dana-dana haram yang dicuri dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN)
dan anggaran daerah (APBD).
Itulah sekilas potret buruk parpol
dan politisi kita menjelang Pemilu 2014, yakni parpol-parpol dan para politisi
yang hanya siap berkuasa namun tidak siap bertanggung jawab, apalagi berkorban
bagi bangsa dan negaranya. Mereka menebar pesona dan menabur janji-janji surga
demi dukungan dan mandat politik melalui pemilu, namun kemudian mencampakkan
nasib rakyat dan bangsanya hanya sebagai alas kaki syahwat kekuasaan.
Barangkali disinilah urgensi
reformasi perundangan-undangan pemilu dan keparlemenan kita ke depan, yakni
bagaimana melembagakan mekanisme akuntabilitas yang lebih langsung antara para
wakil dan konstituennya. Salah satu instrumen yang diperlukan adalah adanya
mekanisme institusional bagi publik untuk menggugat para wakil yang korup dan
tidak bertanggung jawab tanpa harus menunggu pemilu berikutnya. Kalau tidak,
maka pemilu pada akhirnya hanya menjadi “pesta” bagi parpol dan politisi,
sementara rakyat kita mencuci piringnya.
1.
Kesimpulan
Dari laporan dan pengamatan yang saya lakukan di TPS 20 Kelurahan Pisangan
Timur Kec. PULOGADUNG dapat kami ambil kesimpulan sebagai berikut :
a)
Terjadi banyak pelanggaran oleh partai politik baik
saat kampanye, sebelum hari pemungutan maupun pasca pemungutan suara
b)
Ada beberapa alasan masyarakat memilih golput yaitu
golput teknis, golput teknis – politis, golput politis, dan golput ideologis
c)
Masyarakat sudah bosan dengan janji – janji yang
diberikan oleh caleg – caleg sehingga masyarakat lebih memilih untuk bekerja
daripada harus memilih datang ke TPS terdekat.
d)
Banyak caleg dan parpol yang menggunakan money politik
dengan membagi – bagikan uang kepada warga agar memilih partai tersebut dan hal
ini sudah Peraturan yang berlaku
2.
Rekomendasi
2.1 Rekomendasi Untuk Penyelenggara Pemilu
a) Surat suara agar sampai di TPS tepat waktu tidak terlalu cepat dan tidak
terlalu lambat agar memperkecil pelanggaran
b)
Memberikan
simulasi atau penyuluhan tentang tata cara pencoblosan dan bahaya golput
c)
Menekan angka
golput seminimal mungkin
2.2 Rekomendasi Untuk Pengawas Pemilu
a)
Pengawas sebaiknya lebih teliti dan lebih tegas
terhadap pelanggar ketentuan pemilu sehingga tidak ada lagi yang melanggar UU
pemilu dan pemilu dapat berjalan secara lancer dan terkendali
b)
Tidak menerima
suap karena banyak panwas yang menerima suap dari caleg atau parpol untuk
menggembungkan suara
c)
Bekerja dengan penuh tanggungjawab
2.3 Rekomendasi untuk Peserta Pemilu
a)
Sesibuk – sibuknya pemilih, diharapkan tetap
memberikan suaranya dan tidak golput
b)
Diharapkan bagi semua pemilih agar tidak memilih caleg
– caleg yang membagi – bagikan uang karena disamping sudah melanggar peraturan,
money politik juga berpotensi sebagai alasan korupsi bagi para caleg.
c)
Diharapkan bagi pemilih yang tempat tinggalnya dekat
dengan TPS agar ikut mengawasi jalannya pemungutan suara dan penghitungan suara
agar tidak terjadi pelanggran
d)
Jadilah pemilih yang cerdas
Saran
Pemerintah atau partai politik seharusnya menggunakan
dana kampanye untuk tidak hanya membuat aacara hiburan semata untuk masyarakat.
Seharusnya pemerintah atau partai politik lebih menekankan ke pendidikan
politik ke masyarakat yang masih sangat kurang demi menunjang masyarakat yang
cerdas akan politik dan tidak mudah untuk dimanfaatkan golongan tertentu.
Langganan:
Postingan (Atom)